Mohon tunggu...
josep panjaitan
josep panjaitan Mohon Tunggu... Pengacara - pengacara

menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Adilkah Tuntutan Pidana Richard Eliezer?

19 Januari 2023   11:08 Diperbarui: 19 Januari 2023   13:32 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat memasuki babak baru. Rabu, 18 Januari 2023 Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan tuntutan pidana terhadap Richard Eliezer (RE) selama 12 tahun penjara karena terbukti melanggar Pasal 340 KUHP Jo Pasal 55 KUHP tentang pembunuhan berencana. Atas tuntutan tersebut publik bereaksi dan menilai bahwa Tuntutan JPU selama 12 tahun terhadap Richard Eliezer terlalu tinggi. 

Peran RE sangat besar dalam membongkar skenario yang sejak awal ditutup-tutupi, dan ia juga berperan membongkar keterlibatan pelaku lain yg perannya lebih besar sehingga membuat terang perkara ini. Publik menilai tuntutan 12 tahun itu sangat tidak adil bagi RE, terlebih tuntutan JPU terhadap pelaku lain yakni PC yang hanya 8 tahun penjara padahal ia memberikan keterangan berbelit dan terindikasi berbohong. Apalagi atas keterangannya yang jujur dan konsisten sejak awal hingga pemeriksaan di persidangan RE mendapatkan status sebagai Justice Collaborator (JC) atas rekomendasi LPSK dan disetujui JPU.

Sebagai seorang yang diberikan status sebagai #JC semestinya diberikan tuntutan lebih rendah dibandingkan dengan orang yang memberikan keterangan berbelit belit atau  tidak mau berkata jujur dalam memberikan keterangan baik sebagai saksi maupun terdakwa. Ketika seorang tersangka/terdakwa yang berani dan mau jujur kepada penyidik, penuntut umum, majelis hakim dalam proses pemeriksaan sehingga membuat terang suatu perkara dan keterangannya sangat signifikan dalam mengungkap suatu perkara, seharusnya diberikan reward oleh penegak hukum yakni tuntutan yang lebih ringan. 

Dengan adanya reward berupa tuntutan pidana dan hukuman yang lebih ringan kepada seorang JC dibanding pelaku utama dan/atau pelaku lain, kedepannya para tersangka/terdakwa akan mau untuk berkata jujur yang bisa membantu penegak hukum mengungkap suatu perkara.

Status atau penghargaan sebagai Justice Collaborator tidak ada gunanya disematkan terhadap seorang terdakwa apabila tidak diberikan reward berupa keringanan tuntutan pidana dan/atau hukuman. Status JC yang diberikan kepada terdakwa yang dimuat dalam bentuk surat keputusan atau penetapan hanya sebatas oretan di atas kertas putih yang tidak perlu jika tidak memberikan manfaat bagi pemiliknya. Itu ibaratkan seseorang diberikan MAHKOTA, tetapi tidak bisa digunakan sehingga tidak bermanfaat.

Ketika status sebagai JC itu hanya sebatas oretan di atas kertas putih yang tidak berguna untuk meringankan hukuman, maka kedepannya seorang pelaku tidak akan mau lagi memberikan keterangan/kesaksian secara jujur kepada penegak hukum. Karena tidak ada manfaat bagi dirinya meskipun telah membantu penegak hukum dalam mengungkap suatu perkara.

Penulis sendiri pun pernah mendampingi seorang tersangka/terdakwa yang mendapatkan status sebagai Justice Collaborator. Saat itu klien saya yang diberikan status sebagai JC oleh JPU Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) dan juga dikabulkan oleh hakim. 

Namun Justice Collaborator yang disematkan kepada klien saya tidak ada dampaknya terhadap keringanan hukuman. Terdakwa tetap dituntut pidana penjara selama 8 tahun oleh JPU dan dihukum 9 tahun oleh hakim. Hal itu menurut saya  tidak adil yang mana status JC itu tidak berguna bagi terdakwa terlebih hukumannya tidak jauh beda dengan pelaku utama yang sejak awal tidak mau jujur. Tentunya hal seperti ini tersebut menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum kedepannya.

Saat ini tinggal berharap kepada putusan majelis hakim apabila memang menurut majelis hakim terdakwa RE mempunyai kesalahan sehingga harus dimintai pertanggungjawaban pidana, hakim harus mempertimbangkan status sebagai JC itu sehingga menjatuhkan putusan yang jauh lebih ringan dari tuntutan JPU thdp RE. Supaya status JC itu hidup dan berguna, bukan hanya sebatas oretan di atas kertas yang bisa dibuang kapan saja. Hal itu juga menjadi sebuah pelajaran kedepannya agar seorang pelaku tindak pidana yang bukan pelaku utama bersedia membantu penegak hukum dalam mengungkap suatu perkara.

Penulis sendiri pun pernah mendampingi seorang tersangka/terdakwa yang mendapatkan status sebagai Justice Collaborator. Saat itu klien saya yang diberikan status sebagai JC oleh JPU Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) dan juga dikabulkan oleh hakim. Namun Justice Collaborator yang disematkan kepada klien saya tidak ada dampaknya terhadap keringanan hukuman. Terdakwa tetap dituntut pidana penjara selama 8 tahun oleh JPU dan dihukum 9 tahun oleh majelis hakim. Hal itu menurut saya tidak adil yang mana status JC itu tidak berguna bagi terdakwa terlebih hukumannya tidak jauh beda dengan pelaku utama yang sejak awal tidak mau jujur. Tentunya hal seperti ini tersebut menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum kedepannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun