“Penyerangan sepihak, ketika guru sedang mengajar di dalam kelas; pemukulan guru dalam dan di luar kelas” ungkap Bapak Palasius(12/03/24).
Apakah ini sebuah sabotase kemerdekaan guru? Beragam pandangan akan diungkapakan dari berbagai sudut padang beragam tentang pertanyaan ini. Bila ditilik dari aksi, suatu tidakan yang dilakukan oleh pelaku telah malampaui batas, what should I do?
What should I do, sebuah pertaanyaan awal yang harus direfleksikan sebelum melakukan sebuah aksi. Akan tetapi, tidak mudah untuk direfleksikan bila emosi melingkupi proses berpikir yang tidak tenang. Emosi dapat membutahkan perilaku yang berakibat fatal. Ketika terjadi sebuah aksi kekerasan, siapa yang disalahkan?
Sejenak menarik napas perlahan-lahan, sambil mengingat kembali kejadian yang telah berlalu. Saat itu, kita akan menyesal, “ya” sungguh menyesali perbuatan yang telah berlalu. Akan tetapi penyesalan tidak memanusiakan kita. Sebab apa yang dilakukan telah melukai psikologis kedua pihak.
Bukan sekadar luka psikologis, tentu nama baik di mata publik. Siapa yang mengembalikan nama baik kedua pihak? Era percepatan informasi telah mengulas beragam cara untuk medesain sebuah berita agar sesegera mungkin dikonsumsi oleh nitizen. Judul yang menarik dari sebuah berita dapat memviralkan sebuah kejadian yang terjadi di sebuha pelosok desa.
Dunia saat ini, ada digenggaman tangan kita. Orang tidak lagi harus menghabiskan waktu yang lama, uang dengan jumlah yang besar untuk mengetahui sebuah informasi di suatu tempat. Gawai adalah alat digital pengkonsumsi sebuah informasi dari beragam pelosok daerah, hingga kanca internasional yang dapat dinikmati oleh nitizen.
Apakah sebuah perbuatan telah mendapatkan gambaran awal, bahwa ketika saya melakukan aksi ini, akan diliput, di capture-menangkap sebuah gambar, bahkan divideokan untuk dijadikan konten publik?
Rasanya, penyesalah selalu datang ketika masalah bertubi-tubi melingkupi aktivitas keseharian. Jika terjadi masalah, bukankah pekerjaan kita terbengkelai? Kita meninggalkan aktivitas di kantor, di ladang, dll. Beruntung, bila kita memiliki simpanan uang untuk memenuhi kebutuhan dalam rumah tangga. Bila tidak, siapa yang akan membantu memenuhi kebutuhan hidup dalam keluarga? Bila bekerja, Anda akan mendapatkan uang, atau sebaliknya, ungkapan familiar di tengah publik.
Sungguh ironis peristiwa yang telah terjadi di sekolah SMAN 1 Lembata. Ada kesalahan fatal yang mencoreng identitas guru dan orang tua, karena perilaku dari seorang anak. Sungguh orang tua terjebak dan tidak banyak berkata, sebab semua telah terjadi.
Seorang anak berada di bangku sekolah kelas II SMA, merupakan masa kritis. Masa ini dapat dijumpai bahwa “ada perilaku labil yang dilakukan seorang anak”. Anak dapat menciptakan sebuah informasi “bisa saja informasi benar-benar riil, atau ada unsur rekasaya dari informasi yang disampaikan anak kepada orang tua”. Ini adalah sebuah prediksi, tetapi tidak mutlak.
Komunikasi asertif adalah cara yang harus dilakukan orang tua agar mendapatkan informasi yang akurat, kredibel, seperti cross check dengan pihak guru atau lembaga pendidikan untuk mendapatkan keterangan dari kejadian yang dialami. Berdasarkan informasi yang dikutip Penulis dari Ibu Karlin Lewar (12/03/2024) “ayah dan kakaknya menerobos masuk kelas, tanpa ada mediasi perjumpaan dengan pihak sekolah pada saat itu”.
der Wille zur macht, kehendak untuk berkuasa terhadap sebuah informasi yang diterima oleh penerima pesan telah terjadi. Ikatan emosional seseorang terhadap informasi yang dinilai secara sepihak tentu akan menimbulkan blind mind, pikiran tidak jernih, sehingga memunculkan hasrat diri untuk melawan seseorang atas dasar informasi yang diterima.
Bila si penerima informasi terkungkung dalam emosi, yang disertai pengakuan terhadap pembenaran subyektif tanpa cross check menimbukan aksi yang berdampak pada masalah yang sangat luas dijangkau semua orang. Egosentris seringkali mengelabui sikap praktis yang selama ini telah diajarkan, seperti komunikasi kekeluargaan yang membangun sebuah proses kehidupan seorang anak yang diwariskan turun-temurun dari nenek moyang. Berkomunikasi secara kekeluargaan merupakan langkah untuk menghidupkan nilai-nilai budaya di daerah setempat. Namun, saat ini telah mengalami kecatatan.
Nilai budaya komunikasi perlu dihidupkan ditengah disrupsi informasi yang membludak dikalangan anak-anak generasi Z. Hari demi hari, media digital menyugukan tawaran informasi tanpa henti kepada manusia, sehingga nilai-nilai budaya setempat dapat terkikis bila tidak ada kesadaran untuk menjaga, memumpuk, mengembangkan. Tindakan ini, peru dilakukan oleh para penerus, penghuni lokalitas budaya.
Nyatanya, ada miskonsepsi yang terjadi. Nilai budaya seolah ditanding dengan emosional subyektif sehingga integritas budaya setempat telah direduksi oleh penialaian publik akibat menyebarnya berita digital secara cepat kepada publik.
Bila sebuah berita masuk dalam lingkungan media digital, generalisasi penilaian akan terjadi. Ada stereotip, pelabelan yang telah membentuk pola pikir pembaca akan menjadi bahaya tersendiri. Beruntung, bila pembaca memiliki budaya mencari literatur yang memadai untuk dibaca sebelum ia melakukan justifikasi terhadap perilaku seseorang yang berada di suatu tempat yang dilingkupi kesakralan nilai budaya masyarakatnya.
Siapa yang akan memulihkan nama buruk dari daerah, sekolah setempat? Kita perlu mereflekiskan bahwa ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan bersama untuk menganalisis perilaku yang menimpa Bapak Damianus, seorang guru SMAN Lembata, yaitu pertama, si penerima informasi terbelengu dalam egosentris serta sikap implusif sehingga menimbulkan kemarahan dan nafsu, ira et studio. Kedua, kemampuan mengolah informasi masih minim sehingga penilaian subyektif dari hasil memaknai informasi terjadi sepihak, sehingga menimbulkan aksi nyata kekerasan terhadap guru di lingkungan sekolah. Ketiga, kurangnya kepekaan, sikap rendah hati dan keterbukaan dalam menerima informasi yang diberikan. Keempat, kurangnya sikap mengolah informasi dengan beragam pertimbangan sehingga berdampak terhadap keputusan yang buta. Kelima, hilangnya “nilai, cita rasa dalam diri” terhadap tata laku berbasis lokalitas sehingga menimbulkan aksi sepihak.
Kekeliruan yang dilakukan oleh orang tua, inilah membuat penyingkapan terhadap miskonsepsi terhadap kemerdekaan guru. Ada Batasan-batasan yang harus dihayati oleh orang tua, sakalipun ada pengakuan bahwa setiap orang tu bertanggung jawab terhadap anaknya.
Siapa pun mengakui bahwa setiap orang menyayangi anaknya dengan beragam cara. Ingat, kita sebagai orang tua harus selektif terhadap proses mengolah informasi yang bersumber dari anak, agar dalam proses pengambilan keputusan tidak merugikan pihak mana pun. Peran kehadiran orang tua membimbing, membina secara selektif mendapat perhatian yang intens saat ini. Jangan samapai orang tua terjebak dengan "kevulgaran" bahasa; bahasa yang disampaikan menimbulkan hasrat, seperti kemarahan.
Sikap bijak orang tua, saat ini memiliki tantangan sangat kompleks. Tentu, harus diakui bahwa seorang anak yang duduk dibangku SMA kelas II, merupakan gologan generasi Z. Beragam kompleksitas yang mereka alami. Mereka adalah anak yang yang dikelompokan dalam postmodern mentality (Stree, David A, 2018). Tantangan mentalitas mereka sangat kompleks, sehingga mereka sering kali mengalami kehilangan arah tujuan hidup, mudah menyerah dengan keadaan, nilia-nilai kehidupan yang harus diperjuangkan mereka masih suram (Thesalonika, Nurliana Cipta Apsari, 2022).
Tantangan mental inilah, membuat mereka mudah untuk mencari kenyamanan, perlindungan diri dari sebuah masalah yang mereka hadapi. Mereka belum mampu menyelesaikan masalah secara mandiri, sehingga melibatkan orang tua. Bila ditilik dari perilaku tersebut, kapan orang tua memberikan kesempatan kepada anaknya untuk lebih mandiri dalam menyelesaikan masalah sendiri. Terlepas dari siswa tersebut sedang mengalami proses pemulihan dari sakit atau tidak, tindakan yang dilakukan guru di sekolah merupakan sebuah bentuk mendidik. Maafkan guru, bila ia telah menyinggung perasaan muridnya, entah memarahi, mencubit. Tapi, kita harus ingat, budaya timur lebih tegas dari pada budaya lain. Artinya, ada tindakan yang dilakukan oleh siswa telah melampui batas kewajaran, sehingga guru melakukan aksi kurang bersahabat.
Sejelek-jeleknya guru, ia adalah pribadi yang memiliki hati, empati terhadap siswanya. Bila tindakan guru tersebut “dibantah dengan alasan, murid ini baru sembuh sakit” tentu guru mimiliki pertimbangan visual terhadap kondisi pribadi siswa tersebut.. Terlepas dari beragam penilaian, apa yang dilakukan guru sebagai bentuk belajar yang harus dilakukan oleh siswa tersebut, yaitu pertama, guru memberikan penegasan terhadap siswa tersebut dengan cara memberi kesadaran “tanggung jawab” dirinya sebagai pribadi yang sedang belajar.
Tanggung jawab dapat dimiliki oleh siswa, bila siswa maampu mengatur waktu hidupnya, tahu menempatkan waktu. Ia bukan membiarkan waktu berjalan begitu saja, tanpa harus memanfaatkan waktu untuk menuntaskan aktivitas sebagai pelajar. Kedua, kedisiplinan. Kedispilinan adalah sebuah cara yang dilakukan guru dalam membentuk karakter siswanya. Karena perbedaan budaya, maka tindakan pembinaan secara tegas yang dapat memberikan kesadaran kepada siswa. Harapan guru adalah siswa seharunya menanggapi secara positif, dan harus menyadari bahwa apa yang ia terima adalah bentuk melatih mentalitas tangguh.
Seharusnya siswa tersebut bersyukur bahwa gurunya memedulikannya sekalipun ia beberapa hari harus beristirahat di rumah karena sakit. Bila ada guru yang peduli, merupakan sebuah roh yang menjiwai kehidupan keprofesian guru. Artinya, sang guru menyadari bahwa panggilan menjadi guru bukan sekadar mentransfer ilmu, tetapi melatih karakter siswa. Sangat bisa, guru hadir di kelas untuk berbagi ilmu selesai. Ini adalah pekerjaan yang sangat santai bagi guru.
Karena panggilan guru adalah membina kepemimpinan diri siswanya, maka sebagai pemimpin pun siap menerima resiko. Penulis teringat dengan pepatah kuno dalam bahasa Belanda: “Eeen Leidersweg is een lijdensweg; Leiden is lidjen. Artinya jalan memimpin bukanlah jalan yang mudah. Menjadi guru yang mengemban panggilan memimpin sudah sewajarnya siap menderita di era sekarang. Kehilangan konsep mendidik, dididik dikalangan orang tua menjadi suatu tugas tanpa purna waktu yang harus dipikirkan guru, guru harus bekerja sama dengan orang tua, saling mendukung untuk membentuk karakter siswa. Entah, mengapa kejadian pengroyokan terhadap guru adalah langkah yang tidak mudah yang harus dihadapi guru.
Bila orang tua memikirkan, “kamu jadi guru karena saya bayar”, merupakan bentuk pernyataan hanya diukur dari sisi materi. Sementara yang dihadapi guru bukan uang tetapi manusia. Jangan mengukur manusia dengan uang, karena uang adalah benda yang dapat dicari, tetapi karekater manusia tidak mudah di cari. Ia membutuhkan proses kontinu untuk dilakukan melalui proses pembinaan berkelanjutan serta saling dukung antara guru dan orang tua sebagai ekosistem kolaborasi memanusiakan siswa agar ia menjadi manusia mandiri (self-regulated). Di dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara menyebutnya anak dapat mengatur diri mereka sendiri. Hal inilah membuat founding father, mencetuskan Merdeka belajar. Merdeka belajar adalah sebuah nilai yang dicapai dalam menerapkan cara untuk menjalankan proses pembelajaran untuk melatih aktivitas belajar siswa: berpikir kritis, bekerja sama, berkreasi menciptakan sebuah projek sederhana. Cara belajar inilah menciptakan tujuan dari Bapak Pendidikan kita tercinta, tentang Merdeka belajar.
Apa yang dilakukan guru dalam belajar bersama muridnya merupakan sebuah cara untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan (living values) kepada para siswa. Mereka sadar akan nilai dan kebutuhan mereka sebagai mahkluk yang sedang dibentuk agar di kemudian hari mereka berani hidup di tengah kemandirian (self-discipilne) mereka bersama orang lain.
Miris, bila orang tua terlalu protektif terhadap anaknya. Secara tidak langsung hak anak untuk mengembangkan dirinya, termasuk memecahkan masalah yang dihadapi dirinya telah “dimanfaatkan oleh orang tua” pada pilihan yang tidak manusiawi seharusnya direfleksikan oleg orang tua. Akan tetapi, “bila kehadiran orang tua sebagai fasilitator bagi anaknya, niscaya kepercayaan anak dibentuk”. Anak dapat memberdayakan potensi yang ada didalam dirinya, seperti anak belajar mencari cara, berpikir holistik untuk memecahkan masalah, serta merasakan dampak dari proses belajar yang ia lalui dapat dibentuk. Hal ini merupakan harapan besar yang sedang diperjuangkan oleh guru dan orang tua saat ini.
Tetapi harapan itu tidak mudah untuk diwwujudkan, sebab setiap orang tua memiliki corak berpikir yang mendukung atau sebaliknya. Seperti ada orang tua memberikan ruang untuk anak belajar menyelesaikan masalah secara mandiri, disaat itulah imajinasi anak diasah. Ia akan melihat bahwa pengalaman yang dianggap buruk dibaliknya ada nilai positif, yaitu “ia dapat mengajarkan dirinya untuk menjadi pribadi yang sedikit demi sedikit menyelesaikan masalah di sekolah secara mandiri”. Lambat laun, kedewasaan berpikir, emosional akan terbentuk di dalam dirinya.
Kedewasaan berpikir, emosi, tidak dapat dibeli dengan uang. Ia hanya dapat dilakukan apabila ada latihan dan kebiasaan yang diberikan orang tua, guru di sekolah, atau memungkinkan lingkungan tempat dimana anak tinggal. Kehadiran tempat tersebut, berupaya menumbuh kembangkan budaya self-problem slover dalam diri siswa.
Mengapa orang tua harus memberikan peluang ini kepada anaknya? Dunia, saat ini sangat kejam. Beragam tawaran yang menggiurkan seorang anak dapat menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua dan guru di sekolah. Sebagai guru, Penulis mengalami bagaimana menujumpai anak-anak yang terkadang sekadar hadir di kelas, pikiran ngelantur kemana-mana. Sikap apatis, tidak mendengarkan arahan guru dalam kurun waktu tertentu, mengulur-ulur waktu dalam menyelasikan sebuah tugas. Ya, inilah mentalitas kehidupan anak generasi Z.
Pengaruh informasi digital yang dikonsumsi dapat mengalihakan perhatian para siswa ketika belajar. Daya tarik konten yang menampilkan beragam tawaran hidup mewah (life style), hidup instan telah memengaruhi proses guru membersamai siswa dalam pembelajaran. Dan didalam corak kehidupan anak SMA dikenal dengan istilah mager, malas gerak, alias mereka menghabiskan waktunya dengan bermain game, tidur-tiduran dalam kurun waktu yang lama. Ini adalah sebuah fenomena yang harus dikritisi, diwaspadai oleh orang tua dan guru di sekolah. Kebiasaan yang dibentuk oleh generasi ini, menciptakan budaya “malas berpikir; kalau pun berpikir, berpikir seadanya, tidak ada daya juang untuk lebih jauh dari sekadar aku berpikir. Hal ini berbalik arah dari perkataan Rene Descartes, Filsuf eksistensial, aku berpikir maka aku ada, cogito ergo sum.
Peluang untuk menciptakan proses berpikir secara luas dan mendalam, salah satunya seorang anak dihadapkan dengan sebuah masalah yang dihadapi. Anak banyak belajar mengolah pikiran, membuat keputusan serta menentukan cara dan pilihan tepat untuk dirinya. Akan tetapi, gagasan ini memiliki tantangan tersendiri di dunia parenting. Beragam cara dalam mengasuh anak. Perlu diingat bahwa mengasuh anak harus ada batasan, yaitu what should I do, bagaimana kita harus melihat dengan peluang kehidupan anak dikemudian hari. Apa pun yang kita didik hari ini, adalah cara kita mempersipkan seorang anak untuk menikmati masa depan mereka.
Ingat! Anakmu, bukan milikmu, tetapi milik dunia. Kita tidak akan pernah hidup selamanya bersama mereka. Kita sebagai orang tua sebaiknya harus membekali anak kita tentang bagaimana hidup survive, sekalipun mengahadapi masalah yang bertubi-tubi. Masa SMA kelas II merupakan saatnya, orang tua harus lebih banyak memberi ruang kepada anak untuk belajar mengatasi masalahnya sendiri. Bila ada hal yang mendesak, orang tua dapat terlibat. Keterlibatan orang tua sebagai mediasi bagi anak untuk mendapatkan support terhadap kebutuhan psikologis. Orang tua tidak perlu intervensi secara mendalam terhadap persoalan yang dihadapi anak. Bila orang tua sering ambil bagian (intervensi) dan bersikap melindungi anak (prefentif) secara berlebihan, maka saat itulah orang tua menciptakan kebiasaan zona nyaman bagi anak. Anak tidak dilatih untuk berpikir demi menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Kapan anak Anda memiliki kesempatan untuk berpikir, berimajinasi? Seorang anak itu milik, pertama, milik dirinya sendiri (anak itu ada untuk dirinya sendiri). Seorang anak belajar bagaimana ia menyikapi segala hal yang dibutuhkan dirinya agar survive dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Saat itulah, seorang anak mulai belajar mengatur pola kehidupan mulai dengan keteraturan, kedisiplinan, sopan santun, percaya diri, menghormati, berempati terhadap dirinya. Sikap-sikap seperti inilah di sebut self-esteem sebagai self-defense, pertahanan diri, agar di dalam kehidupan sehari-hari mereka dapat memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia yang sedang berproses belajar untuk menjadi dewasa.
Dalama pemikiran Sigmund Freud, disebut pertama, ego: anak mulai berpikir tentang diri mereka sendiri, dan mereka mulai memproyeksikan diri mereka kepada orang lain. Kedua, super ego: anak mulai belajar membedakan hal yang harus atau tidak untuk dilakukan, mendengarkan suara hati, memimpin diri, menegosiasi sesuatu, berkolaborasi, serta mengolah manajemen stress yang dialami.
Kedua, anak adalah milik dunia. Sebagai orang tua perlu memiliki pandangan bahwa dunia yang dihadapi oleh mereka tidak sebatas aku dan kamu, tetapi aku dan mereka. Maka hal yang dibutuhkan adalah ketangkasan dalam menghadapi beragam persoalan yang disajikan oleh dunia-masyarakat.
Karena kebutuhan membina anak secara teratur yang harus di lakukan oleh orang tua, maka seorang anak disekolahkan agar ia mendapatkan pembinaan dari guru selama berada di sekolah. Kehadiran guru di kelas adalah cara guru melatih kepemimpinan diri siswa. Memimpin siswa bukanlah hal yang muda. Memimpin kerapkali mengusik dan memaksa guru untuk terus berpikir tanpa memikirkan diri-mengutamakan proses membina, membimbing, melatih siswanya. Tindakan yang dilakukan guru, karena ia memiliki empati yang mendalam terhadap murid. Ada visi yang sedang diperjuangkan guru dalam diri muridnya, yaitu mereka di kemudian hari menjadi pemimpin yang hebat, siap bertarung dengan kejahatan dan memperebutkan kebaikan, kebenaran di dalam hidup mereka.
Sebagai guru, memimpin bukan sekadar memiliki kuasa dan jabatan, lebih dari itu, bagaiamana bertangung jawab atas kuasa yang dimiliki dan dipergunakan secara koheren dengan nilai-nilai kehidupan siswa. Bagiamana seorang guru, cekat, dan tepat mengambil sebuah kebijakan, bukan yang sempurna. Karena menjadi seorang pemimpin bukan menyenangkan bagi semua orang. Banyak penyesalan dan kekurangan yang setelahnya muncul karena ketidakmampuan untuk menyelesaikan semua dinamika sebagai guru, sekaligus orang tua, warga masyarakat dan negara.
Dengan menjadi seorang guru yang memimpin, setidaknya kami dapat bertindak atas sesuatu dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi kelangsungan hidupan para siswa, hari ini, besok dan yang akan datang. Ini dapat terjadi, bila guru melayani siswanya dengan hati. Hati yang bercahaya untuk menyinari visi serta setiap kepedulian yang dimiliki oleh guru kepada muridnya. Dengan memimpin, seorang guru banyak belajar. Dengan memimpin seorang guru mejadi sosok yang lebih dewasa. Dengan memimpin soerang guru menjadi sosok yang memotivasi orang lain; dan dengan memimpin guru dan masyarakat merasakan iliving values yang dibentuk oleh guru terhadap pribadi siswanya.
Hati adalah keutamaan untuk melihat cahaya dan kecemerlangan masa depan para siswa. Mereka adalah pribadi yang diutus, ambil bagian dalam kehidupan seorang guru. Hubungan timbal balik inilah menjadi momok yang harus memberikan tanggung jawab bersama dari setiap peran kehidupan manusia di bumi ini. Ini adalah sebuah rahasia yang mendiami nurani guru. Dengan keyakinan inilah, guru mengakui bahwa hanya hati yang dapat memberi langkah siswa bercahaya. Sebab keterbatasan guru dalam mendampingi siswa adalah sifat kemanusiaan yang tak dapat dipungkiri oleh akal sehat.
Pengalaman guru dalam membersamai siswa: “Silahkan belajar bersama orang tua di rumah, bila kehadiranmu di sekolah sulit diatur”, ungkap penulis kepada siswa. Cara ini adalah bahasa yang sering digunkana untuk memberikan kesadaran kepada para siswa yang tidak memiliki kedisiplinan, tanggung jawab, dll. Bahasa yang digunakan penulis, tidak dapat digeneralisasi kepada semua siswa yang memiliki karakter dan budaya yang berbeda. Bila mereka belum menyadari informasi yang disampaikan, maka penulis berdiam diri, dan menyampaikan kepada siswa, silahkan untuk melakukan sesuatu sesukamu. Dan pelajaran diberhentikan.
Mengapa penulis melakukan hal ini? Pertama, memberikan kesempatan agar siswa merefleksikan perbuatan mereka. Kedua, memberikan memori kepada siswa bahwa guru memiliki sifat dan kebijakan tersendiri bila melaksanakan pembelajaran di kelas. Ketiga, melatih siswa untuk peduli terhadap diri mereka untuk tidak semenah-menah melakukan sesuatu ketika dalam proses pembelajaran di kelas. Keempat, memberikan kesadaran kepada siswa bila mereka mengulangi hal yang sama, maka guru akan menyampaikan kejadian sebelumnya sebagai bentuk reminder pikiran siswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H