Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi yang terjadi, pembatas nilai-nilai sosial dalam kehidupan masyarakat mulai menghilang. Masyarakat mulai bersosialisasi dalam dunia yang lebih luas dan tidak lagi terbatasi dengan golongan agama, suku, ras, dll.Â
Namun, beberapa waktu terakhir, isu mengenai kemajemukan dalam masyarakat kembali marak menjadi bahan perbincangan di Indonesia, tak terkecuali hal mengenai pernikahan. Permasalahan perbedaan agama dalam pernikahan sering menjadi perdebatan dalam masyarakat umum.Â
Padahal, pernikahan sangat dibutuhkan dalam kehidupan bersama dalam masyarakat untuk melahirkan keturunan yang akan menjadi sendi utama dalam pembangunan bangsa dan negara. Mengingat pentingnya pernikahan dalam kehidupan bangsa, peraturan mengenai perkawinan harus disahkan oleh negara.Â
Dalam Undang Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, memang tidak disebutkan secara spesifik mengenai larangan pernikahan beda agama sehingga terjadi kekosongan hukum, namun dalam undang-undang tersebut hanya disebutkan peraturan mengenai bagaimana pernikahan harus dilaksanakan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya masing-masing.Â
Seorang aktivis LSM Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Ahmad Nurcholish, berkata bahwa secara konstitusional UU tidak mengatur adanya halangan bagi pasangan berbeda agama yang ingin menikah. Namun, yang membuat kesalahpahaman sering terjadi dalam masyarakat merujuk pada UU No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1, yang menyebutkan bahwa "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu," Sedangkan setiap agama mempunyai rumusan masing-masing mengenai pernikahan.Â
Dalam Kompilasi Hukum Islam, yang dibuat berdasarkan Instrusksi Presiden No. 1 Tahun 1990, pasal 40 poin C dinyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Kemudian dalam pasal 44, dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Serta dalam hukum beberapa agama lain memang ada yang melarang mengenai adanya pernikahan beda agama.
Namun selain dari UU Perkawinan, dasar hukum mengenai pernikahan beda agama juga mengacu pada UU Hak Asasi ManusiaNo 39 tahun 1999. Di sana disebutkan paling tidak ada 60 hak sipil warga negara yang tidak boleh dikurangi oleh siapapun, termasuk hak untuk memilih pasangan, menikah, berkeluarga, dan memiliki keturunan.
Lalu, apakah pernikahan beda agama dilegalkan di Indonesia? Menurut Ahmad Nurcholish, selain dari perspektif legalitas hukum, dalam perspektif keagamaan sangat mungkin untuk dilaksanakannya pernikahan beda agama. Pasangan yang berbeda agama bisa menikah dengan dua cara sekaligus, misalnya dengan melakukan pemberkatan secara Kristen, lalu akad secara Islam. Selanjutnya, menjadi tugas negara untuk mencatat pernikahan mereka.Â
Namun, yang menjadi masalah adalah beberapa petugas Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil hanya berpegang pada UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1, dan memahami bahwa pernikahan beda agama dilarang oleh undang-undang.Â
Jadi, meskipun sudah disahkan oleh agamawan, tetap ada kemungkinan untuk negara, melalui Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, menolak mencatatkannya. Namun, dengan catatan apabila salah satu pasangan yang akan menikah beragama Katolik, maka proses pencatatan bisa menjadi lebih mudah, karena pada umumnya gereja Katolik sudah punya "link" ke Catatan Sipil sehingga mereka bisa membantu proses pencatatannya.
Menurut Ahmad sendiri, terdapat beberapa daerah yang Dinas Kependudukan dan Catatan Sipilnya bersedia mencatatkan pernikahan beda agama. Beberapa daerah tersebut seperti Kota Yogyakarta, Kota Salatiga, Kota Surabaya, dan Kota Denpasar. Sementara daerah lainnya bisa dibilang cukup sulit. Namun, pencatatan tersebut berdasarkan domisili pasangan di KTP. Jadi, apabila calon pasangan yang akan menikah tidak mempunyai KTP yang berdomisili di kota-kota tersebut, maka pilihan yang tersedia hanyalah mengganti domisili KTP atau menikah di luar negeri.