BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) sarankan keluarga Indonesia untuk mempertimbangkan tanggung jawab sosial bagi pembangunan negara sebelum memilih keputusan untuk childfree atau tidak mempunyai anak. Irma Ardiana, Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak BKKBN ungkap keluarga-keluarga di Indonesia perlu dipastikan ada penerusnya. Menurutnya, fenomena childfree yang makin masif akan mengakibatkan depopulasi. (dilansir dari antaranews.com, “BKKBN: Pertimbangkan tanggung jawab sosial sebelum pilih childfree”)
Adanya respons dari BKKBN ini dilatarbelakangi oleh meningkatnya perempuan childfree di Indonesia. Menurut survei BPS (Badan Pusat Statistik) 2023 yang berjudul “Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia”, terdapat 8% atau 71 ribu perempuan Indonesia usia subur (15-49 tahun) memilih childfree.
Dengan situasi perekonomian di mana semua harga barang semakin naik, biaya melahirkan dan merawat anak juga semakin mahal. Menurut Sayoga Risdya Prasetyo, ahli perencana keuangan Finante.id menyatakan bahwa biaya mulai dari hamil sampai persalinan di Indonesia berkisar 47 hingga 125 juta. Ini belum termasuk beban finansial yang perlu ditanggung keluarga untuk membesarkannya dari balita sampai dewasa, contohnya biaya sekolah anak. Dengan asumsi anak lahir tahun 2023 dan bersekolah di institusi swasta di Jakarta dari TK sampai jenjang kuliah, perkiraan biaya pendidikannya adalah TK Rp 4.121.803; SD Rp 43.730.851; SMP Rp 59.762.104; SMA Rp 134.450.672; dan kuliah Rp 725.957.659. Bila ditotal Rp 968.023.089 atau bisa mencapai Rp1 miliar menurut Sayoga.
Berita perceraian yang sedang booming akhir-akhir ini juga merupakan faktor dari anak muda khususnya perempuan enggan untuk menikah. Menurut Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Woro Sri Hastuti, alasan perceraian yang menempati posisi pertama merupakan perceraian akibat KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Tentunya, permasalahan ini menjadi pertimbangan bagi kaum anak muda khususnya perempuan untuk memutuskan menunda sebuah pernikahan sampai dengan memiliki anak. Memiliki anak di saat keadaan rumah tangga yang berantakan akan merusak kehidupan seorang anak khususnya terhadap mental dan juga hubungan antara orang tua-anak.
Memiliki anak berarti memegang tanggung jawab besar. Bagi anak muda, memiliki anak berarti tidak ada lagi “kebebasan” karena diperlukan keseriusan dalam merawat dan membesarkan anak agar tidak menyimpang. Hal inilah yang juga menjadikan alasan anak muda memilih untuk childfree karena ketidaksiapan mental dan melepas masa bebasnya. Pakar Psikologi anak, Dr Rohimi, menegaskan bahwa kondisi mental yang tidak stabil akan mempengaruhi pola asuh dan kepentingan di masa depan. Oleh karena itu, dibutuhkan edukasi awal sebelum nikah untuk ilmu parenting.
Menjadi orang tua harus didasarkan dengan keinginan kuat dan persiapan matang. Peran orang tua bagi anak sangat penting karena akan membentuk karakter anak di kemudian hari. Untuk memiliki anak dibutuhkan tanggung jawab besar seperti kesiapan mental sehingga sebelum adanya keputusan memiliki anak diperlukan diskusi antara suami dengan istri sehingga mencapai kesepakatan kedua pihak. Maka dari itu, dibutuhkan persiapan matang sebelum menikah seperti mengikuti program pra nikah untuk mendapatkan ilmu pernikahan dan parenting.
Sebaiknya pemerintah daripada “memaksa” para keluarga untuk bereproduksi, harus juga meningkatkan keterjangkauan dan kualitas fasilitas-fasilitas yang dapat membantu perkembangan generasi yang baru menetas. Dengan ini dapat mengurangi beban yang perlu ditanggung khususnya para perempuan Indonesia yang menjadi ibu bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, peran dari pemerintah mengenai childfree sangat diperlukan untuk mendukung pasangan dan menekan angka perceraian.
Sumber: