Mohon tunggu...
Mawar Hitam
Mawar Hitam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pujangga dari Tepi Danau Sentani

Jika Tidak Bisa Menjadi yang Terbaik, Jadilah yang Berbeda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dilema Perkebunan Kelapa Sawit di Papua: Antara Perekonomian dan Kelestarian Lingkungan

13 Juli 2024   23:33 Diperbarui: 13 Juli 2024   23:54 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara agraris dengan mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai petani dan bergantung pada sektor pertanian. Sumber daya alam Indonesia yang melimpah menjadikan pertanian sebagai salah satu sektor penting dalam menopang perekonomian. Pada tahun 2022, pertanian menyumbang sebesar 12,4% terhadap PDB, setelah sektor industri (18,3%) dan perdagangan (12,8%). Angka ini menegaskan bahwa pertanian memiliki peran krusial dalam stabilitas ekonomi Indonesia.

Salah satu komoditas yang menjadi andalan pertanian Indonesia adalah kelapa sawit. Sebagai tanaman penghasil minyak, kelapa sawit dikembangkan secara besar-besaran oleh pemerintah. Komoditas ini unggul dalam ekspor dan impor, serta berperan penting dalam mendukung perekonomian Indonesia, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun sebagai sumber devisa negara setelah minyak dan gas. Beberapa daerah dengan perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia antara lain Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Kalimantan Timur.

Papua, meski memiliki luas kebun sawit yang relatif kecil sebesar 159,7 ribu hektar pada tahun 2020 yang meningkat menjadi 162,2 ribu hektar, telah mengalami banyak masalah dan dampak buruk akibat perkebunan kelapa sawit. Perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang masuk ke Papua seringkali melanggar hak-hak adat, merusak lingkungan, dan mengalihkan fungsi lahan yang berdampak pada berkurangnya sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Ekspansi kelapa sawit di Papua dimulai sekitar tahun 2004-2005, dengan tujuh perusahaan yang sudah beroperasi pada tahun 2005. Berdasarkan data lapangan dari Greenpeace, ekspansi ini dilakukan karena berkurangnya lahan perkebunan di Sumatera dan Kalimantan.

Aktivitas perkebunan kelapa sawit di Papua memicu berbagai gerakan dari pemuda, masyarakat adat, dan aktivis lingkungan. Praktik-praktik yang tidak sesuai prosedur seperti pembakaran lahan besar-besaran, penebangan liar, serta perizinan sepihak tanpa melibatkan masyarakat adat, menimbulkan reaksi keras. Selain itu, kontribusi perusahaan kelapa sawit terhadap kesejahteraan masyarakat Papua sangat minim. Dari segi ekonomi, peran perusahaan-perusahaan ini juga belum menunjukkan dampak yang signifikan.

Praktik pertanian yang diterapkan oleh perusahaan kelapa sawit tidak mencerminkan sistem pertanian berkelanjutan dan gaya hidup hijau. Fokus utama mereka adalah keuntungan investasi jangka panjang, mengesampingkan keberlangsungan hidup manusia, hewan, dan tumbuhan di Papua. Hal ini mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati dan mata pencaharian masyarakat adat. Sejak awal kedatangan hingga saat ini, perusahaan kelapa sawit belum memberikan manfaat berarti bagi kehidupan orang asli Papua, malah sebaliknya, mereka semakin merugikan.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan solusi yang tepat agar alam dan masyarakat asli Papua tidak terus menjadi korban. Pemerintah bersama masyarakat adat harus mencari solusi atas permasalahan ini. Pemerintah perlu bertindak serius dan tegas dengan menghargai prinsip-prinsip masyarakat adat. Dialog antara pemerintah, masyarakat adat, dan perusahaan kelapa sawit sangat diperlukan. Hak-hak masyarakat adat yang telah dirampas harus dikembalikan, dan kerusakan lingkungan yang terjadi perlu mendapat perhatian khusus.

Lahan operasi perusahaan kelapa sawit harus diperkecil dan kembali memperoleh izin resmi, tidak hanya dari pemerintah tetapi juga dari masyarakat adat. Gerakan peduli lingkungan harus segera diberlakukan untuk mengatasi kerusakan yang terjadi. Perusahaan kelapa sawit yang tidak sesuai standar dan prosedur, serta yang tidak memiliki izin resmi atau mendapat penolakan dari masyarakat adat, harus diberhentikan.

Jika perusahaan masih ingin beroperasi, mereka harus berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan hidup orang asli Papua dengan menyediakan lapangan pekerjaan khusus untuk putra-putri asli Papua, menyumbangkan hasil olahan ke pasar-pasar Papua, menghargai aturan-aturan adat dan budaya masyarakat, serta menjalankan praktik pertanian yang ramah lingkungan. Perusahaan harus melihat dari sudut pandang masyarakat adat, bukan hanya dari sudut pandang mereka sendiri.

Dengan pendekatan yang lebih adil dan berkelanjutan, diharapkan dilema perkebunan kelapa sawit di Papua dapat diatasi, sehingga lingkungan dan masyarakat adat dapat hidup berdampingan dengan industri perkebunan secara harmonis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun