Sejak runtuhnya orde baru, Indonesia seperti memasuki sebuah pintu pengharapan ‘orde reformasi’ dimana substansi demokrasi, yaitu meningkatnya kesejahteraan, pendidikan dan kehidupan akan benar-benar terwujud. Lengsernya Presiden Soeharto yang disinyalir melakukan praktek korupsi selama bertahun-tahun kepemimpinannya seolah memberi angin segar bahwa korupsi akan teredam sedemikian hingga berkorelasi positif terhadap turunnya angka kemiskinan dan negeri ini akan bebas dari lilitan hutang luar negeri. Namun nyatanya, masih ada 40 juta masyarakat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan dan korupsi masih tetap menjadi masalah utama bagi bangsa ini.
Hasil Survei Bisnis Political & Economic Risk Consultancy (PERC) 2010yang melibatkan 2.174 orang eksekutif tingkat menengah dan senior di Asia, Australia, dan Amerika Serikat menyimpulkan bahwa Indonesia adalah terkorup dari 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik. Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 9,07 dari nilai 10. Angka ini naik dari 7,69 poin pada tahun sebelumnya.Posisi kedua ditempati Kamboja, kemudian Vietnam, Filipina, Thailand, India, China, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Makao, Jepang, Amerika Serikat, Hongkong, Australia, dan Singapura sebagai negara yang paling bersih.
Sungguh demikian parahkah perilaku korup di sebuah negeri yang pernah diagung-agungkan sebagai bangsa yang santun, beradab, dan berbudaya?
Dalam kacamata saya sebagai orang awam,sepertiperibahasa ‘patah satu tumbuh seribu’, patahnya sang koruptor tunggal di era orde baru justru menumbuhkan tak terhitung banyaknya koruptor-koruptor baru di era reformasi. Semboyan anti korupsi praktis hanya menjadi jualan masa kampanye. Setelah menjadi pejabat, para elite parpol itu seperti memanfaatkan lahan basah di depan mata untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya.
Praktik korupsi di Indonesia sepertinya sudah di luar nalar sehat. Karena korupsi bukan hanya dilihat dari miliaran rupiah yang dicuri, melainkan pelakunya juga orang-orang terhormat di lembaga kenegaraan dan pemerintahan. Bahkan, di antara pelaku korupsi itu ada yang berasal dari akademisi dan aktivis gerakan antikorupsi, komunitas yang dianggap sebagai pengawal moralitas publik dan penjaga etika sosial. Ini tentu ironi karena tampaknya korupsi sudah mendarah daging dan menjadi kebiasaan yang diyakini lumrah jika dilakukan.
Korupsi telah memutuskan urat kemaluan pelakunya demi pemuasan hawa nafsu. Keluhuran ajaran agamapun tak ubahnya menjadi hiasan semata. Di satu sisi seorang koruptor terlihat sangat saleh menjalankan ibadah keagamaannya namun di sisi lain ia tak pernah mau mengekang diri menjadi budak nafsunya. Di satu sisi seorang koruptor memberikan dana fantastis bagi pembangunan rumah ibadah padahal uang pemberian itu berasal dari korupsi uang Negara. Agama seolah tak mempan menjaga penganutnya dari dosa ketamakan itu, korupsi.
Lalu sampai kapan Indonesia akan bertahan sebagai sebuah Negara dengan budaya korupsi? Tidak inginkah kita kembali membangun negeri ini menjadi negeri yang santun, beradab, dan berbudaya seperti yang pernah dicapkan bagi Indonesia? Semuanya berpulang pada kita mau dibawa kemana negeri ini.
Jose Hasibuan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H