[caption id="attachment_121808" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
“Selamat pagi anak-anak! Seperti pengumuman kemaren, hari ini kita akan mengumpulkan bantuan untuk saudara-saudara kita yang mengalami musibah tanah longsor beberapa hari yang lalu. Masukkan uang yang sudah kalian siapkan dari rumah ke dalam kotak bantuan yang ibu bawa ini”. Demikianlah kata seorang guru kepada murid-murid kelas 2 SD pagi itu sebelum memulai pelajaran. Semua anak segera mengeluarkan uang dan memasukkannya ke dalam kotak bantuan. Demikian juga Budi, dari dalam tasnya ia mengeluarkan dua lembar uang dengan nilai Rp.50.000 dan Rp.2.000, kemudian memasukkan selembar ke dalam kotak bantuan. Lembar yang bernilai berapakah yang dimasukkan Budi? Tepat sekali, Rp.2.000. Ketika ditanya oleh ibu guru mengapa memasukkan Rp.2000, tanpa ragu ia menjawab, “kata mama yang Rp.50.000 untuk jajan waktu istirahat nanti”.
Betapa malangnya nasib Budi, ia yang masih kecil, yang sedang belajar untuk membentuk karakter yang baik, ternyata tidak mendapatkannya dari orang tuanya. Bagaimana mungkin, anak yang tumbuh dalam keluarga dengan penanaman sikap yang demikian kelak akan tumbuh menjadi seorang yang murah hati?
Karakter bukanlah produk instan yang terbentuk dalam hitungan waktu yang singkat. Karakter lahir dari proses penanaman sikap secara berulang-ulang dan terus menerus, hingga menjadi suatu kebiasaan. Suatu kebiasaan yang baik yang ditanamkan dari kecil oleh orang tua akan mengakar dan membentuk kepribadian sehat yang kita sebut sebagai karakter yang baik dalam diri anak. Seperti halnya naik sepeda, perlu latihan untuk terampil, demikian pula karakter yang baik diperoleh dari didikan dan latihan yang diberikan orang tua kepada anak di rumah.
Namun terkadang, secara tidak sengaja atau mungkin tanpa pemahaman yang baik, yang dilakukan oleh orang tua justru sebaliknya. Seperti halnya penanaman sikap yang dilakukan orang tua Budi, secara perlahan dalam dirinya, Budi akan belajar bahwa kepada orang lain tidak perlu memberikan yang terbaik dari yang dimilikinya. Kelak ketika sudah bekerja, Ia akan sulit untuk bekerja dengan memberikan kemampuan yang terbaik.
Lain lagi dengan Ani, sewaktu belajar tentang menolong orang lain, tiba-tiba ia menyela ibu guru di depan kelas yang mendorong siswanya untuk menolong orang lain termasuk pembantu di rumah. “Ani kasihan lihat bibi banyak kerjaan, tapi mama melarang Ani untuk menolong bibi karena mama sudah membayar bibi dengan mahal”, demikian katanya yang membuat ibu guru tidak bisa berkata apa-apa. Sebenarnya siapa yang paling membutuhkan pendidikan karakter? Ani atau ibunya?
Contoh lain sikap orang tua yang justru tidak sedang membangun karakter anak adalah menyiapkan buku pelajaran anak ke dalam tas. Banyak anak-anak datang ke sekolah tanpa tahu mata pelajaran yang diajarkan hari itu. Pada malam atau pagi hari sebelum berangkat ke sekolah, orang tuanya yang memasukkan buku-buku ke dalam tas. Dengan kebiasaan yang demikian, anak-anak tidak belajar untuk mandiri meskipun mulai dari yang sederhana, menyiapkan buku-buku pelajaran. Banyak orang tua yang mengeluh karena anak-anak mereka sulit untuk mandiri, padahal sikap itu justru lahir dari kebiasaan-kebiasaan yang ditanamkan orang tua.
Selama ini yang terjadi adalah para orang tua seolah-olah lepas tangan urusan pendidikan anaknya. Mungkin karena sudah merasa bayar mahal kepada sekolah, tanggung jawab sepenuhnya tentang karakter anak dilimpahkan kepada sekolah. Bukankah sekolah adalah mitra orang tua dalam mendidik anak, bukan sebaliknya. Sekolah berperan dalam rangka meneguhkan kebiasaan baik yang sudah ditanamkan di keluarga dan memberikan pengetahuan tambahan tentang kebiasaan-kebiasaan tersebut.
Kalaupun yang sebaliknya terjadi, orang tua menjadi mitra sekolah dalam membangun karakter anak, saya yakin peluang untuk berhasil tetap ada. Namun kenyataannya, pendidikan karakter yang perlahan mulai ditanamkan dalam diri anak di sekolah, seolah mental karena kebiasaan-kebiasaan yang tidak mendidik yang diterapkan orang tua di rumah. Kalau begini, mengapa harus ribut-ribut mendesak perlunya pendidikan karakter di sekolah? Saya malah berpikir, pendidikan karakter lebih dibutuhkan orang tua dari pada anak.
(Jose Hasibuan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H