Selain memiliki keragaman budaya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, Indonesia juga memiliki kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang tak ternilai. Emas misalnya, merupakan sumber daya alam yang sangat berlimpah yang terdapat di Papua. Wilayah paling timur Indonesia itu bahkan terkenal dengan produksi emasnya yang terbesar di dunia.
Tidak hanya Papua, Pulau Sumbawa juga memiliki potensi SDA Indonesia dari sektor pertambangan yang besar. Lahan tambang dengan potensi tembaga, emas dan perak seluas 1,67 hektar di Pulau Sumbawa, disebut-sebut terbesar kesepuluh di dunia. Data dari Badan Pusat Statistik Per 2 Mei 2011 menyebutkan nilai ekspor non migas Indonesia ke 20 negara Uni Eropa pada maret 2011 telah mencapai angka Rp.14,5 triliun, jumlah yang tidak sedikit tentunya.
Selain tembaga, emas dan perak, di perut bumi Indonesia juga terdapat potensi Batubara 43,5 milyar ton yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia. Laju rata-rata produksi batubara Indonesia diperkirakan mencapai 340 juta ton per tahun. Ada juga Potensi tambang pasir besi di pesisir Kulon Progo Yoygakarta, dengan wilayah yang mencapai 3000 hektar.
Dari sektor Minyak dan Gas (migas), hingga 22 mei 2011 laju produksi minyak mentah Indonesia yang siap jual berada pada kisaran 897.000 barrel per hari. Misalkan harga minyak dunia berada pada posisi US$ 95 per barrel, maka dengan angka laju produksi di atas, tiap hari sektor migas telah menyumbang US$ 85.215.000 atau setara dengan Rp. 724.327.500.000 (Nilai Rupiah diperkirakan Rp. 8.500).
Jika nilai Rp. 724.327.500.000 dibagi dengan proyeksi angka 40 juta rakyat miskin Indonesia, maka rata-rata akan mendapat Rp.18.000 per hari. Namun, jumlah 40 juta rakyat miskin bukan sekedar angka perkiraan. Jumlah itu bisa kita rasakan ada di sekitar kita, menyebar dari Sabang sampai Merauke seperti halnya distribusi persebaran kekayaan tambang kita. Ironi.
Menurut data kompas (21/3/2011), jumlah penduduk miskin di papua, pulau yang amat kaya sumber daya alam itu, mencapai 80,07 persen atau sekitar 1,5 juta jiwa dari 1,9 juta penduduk Papua (data tahun 2001). Angka ini tidak berubah karena sejak diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Khusus sejak akhir 2001-Maret 2005, sejumlah daerah masih belum memberi kontribusi bagi pemberantasan sejumlah kategori kemiskinan. Kompas edisi 24/5/2011 juga menulis, di Jateng sebanyak 1.183.744 penduduk (284.890 keluarga) belum menikmati listrik. Listrik dijadikan salah satu indikator terhadap proyeksi angka kemiskinan.
Mengapa angka 40 juta itu masih terus bertahan. Tidakkah potensi SDA kita tidak hanya dari sektor migas? Ternyata pengelolaan potensi SDA Indonesia dikuasai oleh asing. Menurut laporan harian Kompas beberapa edisi selama bulan juni, proporsi Asing pada pertambangan Indonesia masih sangat dominan. Perusahaan asal Amerika Serikat (AS), Freeport-McMoran Copper & Gold Corp misalnya, mengusai 81,28% produksi emas Papua. Dalam petambangan Batubara, Banpu Public Company Ltd, perusahaan asal Thailand menguasai 73,22% saham yang tersebar di 5 dari 8 daerah tambang di Kalimantan, bahkan Straits Resources Ltd asal Australia menguasai 100% di Kalimantan Selatan. Di Sektor Tembaga, Newmont Mining Corp asal AS menguasai 80% saham. Di sector Nikel, Vale Canada Limited memiliki saham 58,73% dan Sumitomo Metal Mining Cold Ltd dengan proporsi 20,09%.
Di sektor non migas, proporsi Asing juga tidak kecil, berkisar pada bobot 75%. Sebagai gambaran, dari total 225 blok migas hanya 28 blok yang dioperasikan perusahaan nasional selebihnya oleh asing. Rasio pengurasan minyak oleh PT Pertamina hanya sekitar 8,8%.
Pantas saja masih banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, hasil yang besar dari sektor pertambangan, yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, ternyata lebih banyak dibawa oleh sejumlah perusahaan asing ke negerinya nun jauh disana.
Dominasi asing di sektor pertambangan Indonesia tidak lepas dari lemahnya peran Negara untuk mengontrol penggunaan SDA. Akibat otonomi daerah yang berkembang, 8000 izin kuasa pertambangan telah dikeluarkan pemerintah daerah. Bisa dibayangkan bagaimana proses negosiasi perusahaan asing dengan pemda setempat yang seolah berlaku sebagai tuan takur atas wilayah pemerintahannya. Dengan iming-iming akan menciptakan lapangan kerja baru, penduduk setempat praktis hanya dipekerjakan sebagai buruh kasar di tanah sendiri.
Namun, kesalahan tidak hanya dipihak pemerintah. Meskipun kita berlimpah dalam SDA, ternyata tidak dibarengi Sumber Daya Manusia (SDM) yang kuat pula. Penggunaan SDA tidak semudah menggali kuburan, dibutuhkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang tinggi. Alhasil, kita tidak bisa mengelola SDA secara mandiri. Ketinggalan IPTEK yang jauh, membuat negara-negara yang lebih maju menjadi penguasa dalam menggali kekayaan negeri ini. Ilmuan kita lebih banyak berkutat di literatur namun kurang daya menjadi thinker dalam usaha pertambangan. Dengan modal piawai di bidang IPTEK, hasil kekayaan kita diboyong habis-habisan untuk memakmurkan Negara-negara yang sudah maju itu.
Apa yang bisa kita pikirkan? Dua solusi fundamental seharusnya kita sikapi dengan serius. Pertama, perlunya revisi Kebijakan dan Strategi pembangunan ekonomi yang yang diperuntukkan bagi kepentingan nasional. Sudah saatnya kita punya pemimpin yang Visioner. Pemimpin yang tidak hanya membual dengan hebat di negeri orang, namun ternyata tidak punya mimpi yang hebat bagi rakyat sendiri. Kedua, sudah saatnya kaum intelektual muda Indonesia untuk bangkit. Belajar dengan cerdas untuk bisa menguasai IPTEK sehingga mampu menjadi pionir dalam penggunaan SDA Indonesia. Indonesia masa depan bergantung pada otak-otak cerdas generasi muda saat ini. Belum ada kata terlambat. Mari maju bersama.
(Jose Hasibuan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H