Saya sedikit penasaran dengan cara orang-orang dari abad pertama berinteraksi dalam proses belajar mengajar. Sebuah buku yang saya baca menceritakan bahwa minimnya manuskrip (lembar kulit hewan atau perkamen), saat ini yang kita kenal kertas, menuntut dilakukannya tradisi lisan dan budayamengingat secara komunitas.
Seorang guru biasanya mengulangi bagian ajarannya sampi beratus kali. Seorang peneliti tradisi belajar abad mula-mula dalam b.Hag. 9b (bar., Ibid Hal 134-135) mengatakan “Seorang guru biasanya mengulangi setiap bagian dari ajarannya ‘empat ratus kali’ untuk murid yang lamban, bahkan sampai ‘enam ratus kali’ jika murid itu masih belum juga menghafalkannya”. Deskripsi hiperbolis ini memberikan kesan akan metode mengajar yang sederhana namun dipandang efektif, hanya menuntut kesabaran sang guru dan muridnya.
Di Sinagoge (semacam tempat diskusi) atau di daerah-daerah perbukitan, pada abad itu akan mudah ditemui seorang guru sedang menyampaikan ajarannya kepada beberapa orang muridnya (terkadang mencapai ratusan). Tidak satupun murid itu harus mendaftar terlebih dulu, mereka datang karena keinginan sendiri. Meskipun dalam berkali-kali pertemuan, ajaran yang disampaikan hampir sama, tetapi tidak banyak yang mundur. Esok hari, ketika terdengar sang guru akan mengajar di suatu tempat, mereka akan kembali berkumpul dengan senang hati.
Bagaimana sang guru mengajar? Guru-guru dari abad pertama biasanya menyampaikan ajarannya secara ritmis atau dengan cara yang mudah diingat. Tidak sedikit gagasan disampaikan dalam bentuk puisi, menggunakan aliterasi (pengulangan bunyi atau huruf yang sama), paronomasia (permainan kata), asonasi, kemiripan bunyi, paralelisme dan persajakan.
Tanpa tulisan, para murid akan mengingat apa yang diajarkan secara kolektif (ingatan dalam komunitas). Di rumah, seorang bapak akan menyampaikan secara berulang-ulang kepada anaknya. Ketika bertemu dengan sahabat di jalan atau di pasar, mereka akan mendiskusikan kembali apa yang dipelajari dari sang guru untuk memperkuat ingatan.
Di era berlimpahnya kertas seperti saat ini, sistem hafalan semakin dikurangi. Bahkan setelah penemuan mesin cetak sampai kehadiran komputer pribadi, kita semakin merasakan kemerosotan ingatan manusia. Sebuah paradigma menjadi sesuatu yang mahal untuk diingat. Lihatlah pelajar sekarang, tidak sedikit yang baru mulai menghafal ketika ujian akan dilakukan esok hari. Akibatnya, ingatan hanya bertahan satu hari, ketika ditanyakan seminggu kemudian, tidak satupun ingatan yang tersisa.
Berkaca dari sistem pendidikan abad pertama di atas, Pertama, saya merenungkan pentingnya pendidikan. Belajar memahami suatu paradigma atau ide dirasakan sesuatu yang berharga bagi kehidupan. Belajar dirasakan dapat membuat hidup lebih arif. Fakta bahwa pada zaman sekarang justru golongan terpelajar yang hidupnya menjadi sampah adalah bukti bahwa pendidikan saat ini tidak banyak menuntun hidup seseorang menjadi arif. Kita membutuhkan reformasi pendidikan (PR bagi setiap kalangan pendidikan untuk dipikirkan).
Kedua, keterbatasn fasilitas bukanlah suatu halangan asalkan ada tekat yang kuat. Adalah hal yang patut disyukuri jika saat ini kita hidup di zaman fasilitas yang serba canggih. Ada banyak guru yang memanfaatkan kemudahan ini untuk meningkatkan interaksi belajar mengajar, tapi tidak sedikit pula yang ogah-ogahan. Ironis sekali jika dua ribu tahun yang lalu, guru-guru memikirkan berbagai metode menyampaikan ajarannya, namun faktanya banyak guru sekarang kekeh dengan metode ceramah yang monoton. Wajar saja kalau banyak siswanya yang tertidur di kelas. Bahkan kebanyakan itu dilakukan oleh guru-guru bersertifikasi yang katanya disebut guru professional. Alamak, apa yang salah dengan sertifikasi itu?
Selamat Hari Pendidikan Nasional! Selamat merenungkan Pendidikan Indonesia!
(Jose Hasibuan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H