***
Konon, pemimpin Thailand pernah bertanya kepada malaikat, “kapan negeriku akan makmur?”. Malaikat menjawab, “masih 30 tahun lagi”. Mendengarnya pemimpin Thailand menangis tersedu-sedu.
Pemimpin Vietnam juga bertanya kepada malaikat, “kapan negeriku akan makmur wahai malaikat?”. Malaikat menjawab, “masih 50 tahun lagi”. Pemimpin Vietnam pun menangis tersedu-sedu.
Kemudian pemimpin Indonesia juga bertanya, “kapan negeriku akan makmur wahai malaikat?”. Kali ini justru malaikatlah yang menangis tersedu-sedu.
***
Mungkin ini hanya satu dari banyak gurauan yang membandingkan bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Gaya bahasanya memang terkesan hiperbolis dan merendahkan bangsa sendiri. Namun, kita seharusnya belajar meski dari sebuah lelucon yang tak enak di dengar telinga.
Apa yang diungkapkan dari gurauan itu? Tidak lain adalah sikap pesimis tentang kemajuan bangsa ini mengingat Indonesia yang sudah terlalu lama terbelit krisis. Krisis tentang merosotnya moral di pelbagai bidang dan diperparah oleh KKN yang terus menggurita dan merusak sistem.
Zaman sudah berubah, masuk kedalam suatu proses globalisasi. Suatu era yang menuntut perubahan paradigma berpikir suatu bangsa. Perubahan pola berpikir dari resourced based ke knowledge based. Dalam paradigma berpikir yang demikian, kekayaan sumber daya manusia menjadi aspek terpenting untuk kemajuan suatu bangsa ketimbang aspek kekayaan sumber daya alam. Perhatikanlah mengapa Jepang tumbuh menjadi Negara maju saat ini, padahal praktis tidak ada yang bisa diharapkan dari sumber daya alamnya.
Saat ini, kemajuan suatu bangsa tidak lepas dari kontribusi orang pintar dari bangsa tersebut. Sebenarnya, kita tidak kekurangan orang pintar di negeri ini. Perhatikan saja, setiap tahun, setiap bulan atau bahkan setiap hari, kampus-kampus perguruan tinggi negeri dan swasta melahirkan tidak sedikit diploma, sarjana bahkan master. Secara statistik, jumlah mereka bahkan terus meningkat tajam dari tahun ke tahun. Akan tetapi, peningkatan jumlah lulusan itu tidak berkorelasi positif terhadap kemajuan bangsa ini, karena persoalan kita bukanlah pada bobot kuantitas jumlah orang pintar tetapi kualitas yang tak mampu berkarya secara nyata.
Banyak sarjana jebolan perguruan tinggi di negeri ini yang sudah puas hidup sejahtera di tengah-tengah masyarakat yang mendera. Hanya sedikit yang menangis melihat masyarakat sekitarnya hidup dalam kemiskinan. Jarang terlintas dalam pikiran, bagaimana berkontribusi memecahkan persoalan kemiskinan yang tak kunjung reda.
Sekalipun menyandang gelar sarjana, banyak alumni perguruan tinggi kita bahkan tidak mampu berbuat secara signifikan dengan ilmu yang dimilikinya bagi negeri ini. Empat sampai lima tahun di perguruan tinggi, yang diperoleh hanyalah gelar, tidak tahu bagaimana mendaratkan ilmu yang diperoleh pada tataran kehidupan nyata.Inilah salah satu kekurangan perguruan tinggi kita, belum mampu melahirkan kaum intelektual atau cendikiawan. Seorang intelektual adalah seorang yang cerdas, berakal dan berpikir jernih berlandaskan ilmu pengetahuan. Ini tidak serta merta merujuk pada sarjana yang telah menamatkan pendidikan di suatu perguruan tinggi.
Kebutuhan kita adalah hadirnya kaum intelektual yang mengabdikan dirinya untuk kemajuan bangsa ini. Mereka adalah orang-orang yang mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk memperbaiki masyarakatnya, menemukan dan mencari solusi terhadap permasalahan yang terjadi di masyarakat. Bukan sebaliknya, memerparah bahkan menambah borok yang sudah ada.
Kebutuhan mendesak ini masih jauh dari terpenuhi. Alih-alih memperbaiki masyarakat, banyak orang pintar di negeri ini justru adalah perusak. Lihatlah para pelaku korupsi di negeri ini, mereka bukanlah orang tak berpendidikan, mereka bahkan lulusan terbaik dari perguruan tinggi di negeri ini. Ini sebuah persoalan yang seharusnya dipikirkan dengan serius oleh perguruan tinggi di Indonesia.
Perguruan tinggi menjadi ujung tombak bagi kemajuan bangsa. Pemimpin Indonesia di masa mendatang adalah mereka yang duduk di perguruan tinggi saat ini. Jika kelak ketika mereka memimpin, negeri ini tidak juga kunjung mengalami kemajuan atau bahkan kemunduran, perguruan tinggi seharusnya menjadi salah satu pihak yang paling bertanggung jawab.
Tanggung jawab itu tidak sekedar mengemban amanat kampus untuk mencapai akreditasi yang mengagumkan, tetapi lebih dari itu, perguruan tinggi harusnya kembali mengemban tugas mendasarnya seperti yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945, ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’. Bukan sekedar memakmurkan kehidupan para lulusannya, tetapi melalui lulusannya mangatarkan kehidupan bangsa ini ke tingkatan yang lebih baik.
Sudah saatnya perguruan tinggi di Indonesia fokus melahirkan kaum intelektual. Mereka yang diharapkan menjadi pionir dalam memajukan bangsa ini. Mendedikasikan hidupnya bukan untuk dirinya sendiri, tetapi bagi harkat dan martabat bangsanya. Kaum intelektual yang tidak sekedar bermanfaat bagi dirinya sendiri, melaikan juga bagi bangsa dan Negara. Orang-orang yang akan menyelamatkan masyarakat dengan ilmunya, bukan malah membahayakan dan menghancurkan masyarakatnya.
Wahai kaum muda, sudah saatnya kita bangkit dan memajukan bangsa ini. Mari bersama menyingsingkan lengan baju, berpikir dan berzikir kepada Tuhan, berharap kelak di negeri ini berlimpah orang-orang jujur dan lurus jiwanya serta cerdas otaknya. Mari membungkam lelucon-lelucon sumbang yang membuat kita tak berpengharapan. Mari tunjukkan bahwa saat ini kita sedang membentuk barisan orang-orang muda yang siap mengabdikan dirinya bagi kemajuan Indonesia di masa mendatang. Mari tunjukkan bahwa saat ini, era kemajuan Indonesia sedang dimulai.
(Jose Hasibuan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H