[Sebuah Renungan]
Kisah “Pensil dan Penghapus” memang bukan cerita baru, sudah lama cerita itu tersebar di dunia maya. Merenungkan apa yang baru-baru ini terjadi pada Ibu Siami, saya mencoba menarasikan kembali cerita itu sebagai bahan renungan bagi para guru dan orang tua.
***
Suatu ketika, sebatang pensil datang kepada penghapus dengan wajah sedih. Penghapus yang menyadari ada sesuatu yang dipikirkan oleh pensil lalu berinisiatif memulai percakapan.
“Ada apa pensil? Mengapa kamu terlihat bersedih?”
“Aku ingin meminta maaf kepadamu, penghapus”
“Apa salahmu sehingga aku harus memaafkanmu?”
“Aku baru menyadari, ternyata kamu sudah banyak berkorban untukku. Setiap kali aku melakukan kesalahan, kamu segera menghapusnya. Dan untuk melakukan itu, kamu rela kehilangan sebagian tubuhmu. Seandainya tidak ada kesalahan yang aku lakukan, tentu saja kamu tidak harus mengorbankan bagian tubuhmu”
“Pensil, kamu tidak perlu meminta maaf. Menghapus kesalahanmu adalah tugasku meskipun untuk itu aku harus kehilangan sebagian tubuhku. Meskipun suatu saat tubuhku habis, dan kamu menggantiku dengan penghapus yang baru, namun aku tidak pernah menyesal, karena memang untuk itulah aku ada, membantu menghapus kesalahanmu agar kamu bisa memperbaikinya kemudian”.
Setelah mendengar pernyataan penghapus, pensilpun mulai lebih teliti dalam menulis agar tidak banyak kesalahan dilakukan yang menyebabkan penghapus mengorbankan tubuhnya.
***
Bapak, ibu guru dan orang tua, dalam mendidik anak-anak, tugas kita tidak ubahnya seperti peran penghapus bagi pensil. Keberadaan kita adalah untuk mengoreksi kesalahan anak-anak kita, lalu membimbing mereka supaya memperbaiki diri agar lebih baik. Mereka yang masih muda belum mampu secara mandiri membedakan mana yang benar dan salah. Adalah wajar jika mereka melakukan kesalahan. Jangan memarahi atau bahkan membentak ketika mereka sedang melakukan kesalahan. Tugas kita adalah mengoreksi kesalahan dan membimbing mereka untuk melakukan yang benar.
Saya sangat bersedih mendengar kasus yang dialami ibu Siami. Bukannya mengoreksi kesalahan anak-anak, kita malah menganjurkan mereka untuk melakukan kesalahan. Anak-anak itu akan belajar ‘lakukanlah segala cara untuk mencapai keinginanmu, meskipun itu bertentangan dengan nilai-nilai moral yang ada’. Jangan salahkan anak-anak itu, jika suatu saat mereka bahkan berani menentang orang tuanya sendiri demi mendapatkan keinginannya.
Bapak, ibu guru dan orang tua, dalam menjalankan tugas kita sebagai penghapus, selalu ada yang kita korbankan. Mungkin perasaan jengkel karena anak-anak kita lambat menangkap bimbingan kita. Mungkin juga kita harus mengorbankan waktu istirahat demi mendampingi mereka belajar. Janganlah pernah menggerutu dalam melakukannya. Tetaplah tersenyum dengan tulus, karena memang itulah peran kita. Suatu saat mereka akan mengerti bahwa untuk melakukan sesuatu butuh ketulusan dalam mengerjakannya.
Kebahagiaan utama kita semata-mata bukan terletak pada nilai-nilai rapor anak-anak kita yang fantastis atau ketika mereka lulus dengan nilai UN yang tertinggi. Kebahagiaan kita yang utama adalah ketika mereka berkembang menjadi pribadi yang mandiri, bertanggung jawab, dan menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas. Kelak, jika sampai masanya, mereka akan tampil sebagai pribadi dewasa yang siap memimpin negeri ini menjadi lebih baik.
“Didiklah anak-anak muda dengan keteladanan agar masa tua mereka cerah bagaikan matahari”.
Semoga bermanfaat.
(Jose Hasibuan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H