Oleh : Jose Bonatua Hasibuan, S.Pd*
Sewaktu masih duduk di bangku sekolah dulu, saya acap kali mendengar kalimat yang hampir senada diucapkan oleh guru-guru saya mulai dari SD sampai SMP. Kalimat itu kira-kira demikian : “Mengapa Jepang bisa menjadi salah satu Negara termaju di dunia saat ini? Karena pasca pemboman Hiroshima dan Nagasaki oleh Sekutu, hal pertama yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang adalah mencari data berapa jumlah guru yang selamat. Mengapa demikian? Karena mereka meyakini dengan bermodalkan guru-guru, Jepang akan segera bangkit dari keterpurukan dan menjadi Negara maju”. Sampai sekarang saya tidak tahu pasti kebenaran cerita tersebut, tetapi kemudian waktu telah membuktikan saat ini Jepang adalah salah satu Negara termaju di dunia. Peristiwa gempa bumi dan tsunami yang baru-baru ini terjadi di Jepang turut membuktikan bahwa Negara itu adalah Negara yang paling siap untuk menghadapinya.
Tulisan ini tidak sedang membahas gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Jepang, saya ingin berbagi tentang sebuah film seri Jepang dengan tema guru. Bagi saya inspirasi bisa datang dari mana saja, termasuk film yang berjudul Gokusen ini, yang diperankan oleh Yukie Nakama. Pada dasarnya saya sangat tidak menyukai film seri karena menurut saya hanya membuang banyak waktu saya dengan menonton episode demi episode film tersebut. Tapi seorang teman merekomendasikannya bagi saya karena saya seorang guru.
Di awal film itu dikisahkan bagaimana seorang wanita muda bernama Yankumi, satu-satunya generasi penerus keluarga Yakuza, tidak berniat untuk menggantikan kakeknya menjadi ketua organisasi itu tetapi memilih menjadi seorang guru. Ia meyakini bahwa hidupnya terpanggil untuk menjadi seorang guru. Saya langsung berfikir inilah langkah awal menjadi seorang guru, memiliki visi dan panggilan yang jelas menjadi seorang guru, bukan karena tidak ada pekerjaan lain atau karena pandangan bahwa menjadi guru tidak sesibuk profesi lainnya. Sehingga, jika kemudian ada tantangan sehubungan dengan profesinya sebagai seorang guru, visi dan panggilan itu lah yang akan meneguhkan kembali.
Pernahkah anda menghadapi kelas yang minat untuk belajar tidak ada sama sekali? Atau kelas yang isinya adalah siswa-siswa pindahan dari sekolah lain karena di sekolah sebelumnya ia dikenal suka berkelahi dan bahkan pernah meninju gurunya? Atau sebuah kelas yang tiba-tiba ketika anda menuliskan sesuatu di papan tulis, seorang siswanya dengan usil melempar anda dengan sebongkah kertas berbentuk bola? Itulah kelas pertama yang dihadapi Yankumi. Ketika memasuki kelas, tidak seorang siswapun menyapanya dengan hangat tetapi justru melihatnya dengan tatapan kebencian. Yankumi memulai kelas dengan mengucapkan salam tetapi tidak seorangpun yang menghiraukannya, mereka sibuk bercerita satu dengan yang lainnya. Diabaikan dan tidak dipedulikan. Tetapi Yankumi tidak putus asa. Ia tidak serta merta mundur karenanya. Ia yakin pasti ada cara untuk mengambil simpati anak-anak didiknya. Inilah yang ia lakukan, ia mencari tahu kepribadian masing-masing muridnya dari latar belakang keluarga mereka. Dan cara itu kemudian ampuh untuk menarik simpati murid-muridnya. Masing-masing murid diperlakukan unik sesuai kepribadiannya, kelihatannya memang membuatnya menjadi repot, tetapi ia yakin itulah harga yang harus dibayarnya demi mewujudkan visinya menjadi seorang guru. Sebagian dari mereka memang berasal dari keluarga yang broken home, yang tidak memiliki profil yang diidolakan di keluarga. Maka pikirnya, wajar saja mereka bersikap demikian. Yankumi berusaha menyelami kepribadian muridnya satu persatu. Baginya setiap siswa unik, tidak boleh diperlakukan secara sama.
Hal kedua yang saya renungkan dari cerita itu adalah, setiap siswa adalah unik. Seorang guru tidak boleh memperlakukan siswa nya secara homogen. Ada siswa yang memang daya tangkapnya sedikit lambat dari yang lain. Tentu saja guru yang baik tidak boleh mengatakan “bagaimana kamu ini, yang lain bisa, mengapa cuma kamu yang tidak bisa?”. Guru yang baik akan memikirkan bagaimana siswa yang sedikit lebih lambat ini termotivasi untuk lebih cepat tetapi tidak mengurangi ketanggapan dari siswa yang lebih cepat. Atau siswa yang lemah di pelajaran matematika tidak serta merta siswa tersebut dikatakan bodoh. Tugas guru adalah menemukan kecerdasan lain dalam diri siswa tersebut. Bisa jadi ternyata siswa tersebut cerdas dalam bidang seni. Kalau ia dibimbing dengan baik, bukanlah suatu yang mustahil seorang komposerhebat akan lahir. Ada siswa yang dengan sedikit nasehat di depan kelas yang keluar dari mulut gurunya akan mengerti, tetapi siswa lain perlu diajak untuk duduk berdua, berbicara dari hati ke hati baru ia mengerti. Seorang guru yang baik tahu benar kepribadian tiap siswanya.
Kembali ke cerita Yankumi. Setelah melihat awal cerita yang kelihatannya penuh tantangan, beralih ke episode-episode yang menceritakan persahabatan Yankumi dan siswanya. Karena telah mendapat simpati dari siswanya, rasa percaya pun muncul dari mereka. Mereka bisa menceritakan masalah-masalah pribadi mereka karena mereka telah percaya kepada sang guru. Tidak lagi sulit bagi Yankumi untuk menyampaikan materi pelajaran karena ia sudah mendapatkan perhatian dari mereka. Teladan yang tidak dilihat di keluarga dan lingkungan mereka peroleh dari gurunya. Mereka melihat bagaimana guru mereka berintegritas. Melakukan apa yang ia katakan dan mengatakan dengan jujur apa yang ia lakukan.
Apa yang bisa kita pelajari dari sini? Akhir-akhir ini profil hidup dari seorang yang patut diteladani sangat sulit ditemukan. Seorang siswa sampai menjelang dewasa adalah masa-masa mencari jati diri. Jika hal-hal buruk yang banyak terlihat begitu mempengaruhi pola pikirnya maka itu akan terkristal dalam pikiran dan menjadi pandangan hidup yang permanen. Saat ini, ditengah sulitnya menemukan seorang yang patut diteladani, kehadiran guru-guru yang berintegritas akan menjadi seperti setitik air ditengah rasa dahaga yang kuat. Pelajaran terpenting yang akan diambil dari seorang guru bukanlah ilmu pengetahuan yang diajarkannya tetapi teladan hidup yang menjadikan hidup anak didiknya kelak lebih baik.
Untuk menjadi guru yang baik, anda tidak perlu menjadi seperti Profesor Yohanes Surya, cukup dengan memiliki visi dan panggilan yang jelas sebagai guru, mampu mengenali setiap murid secara unik dan menjadi guru yang mampu diteladani dalam sikap dan tindakan. Semoga.
*) Penulis adalah Guru di SMK Pertanian Terpadu Negeri Provinsi Riau
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H