---
Korupsi berasal dari bahasa latin Cooruptio yang artinya suatu perbuatan yang busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral menyimpang dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Menurut UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001, pelaku korupsi (baca : koruptor) didefinisikan sebagai setiap orang yang secara sadar melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri/orang lain/suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.
---
Tindakan korupsi hadir dalam bentuk yang beragam. Mulai dari menyalahgunakan sarana yang ada padanya karena jabatan/ kedudukan, menggelapkan uang, sampai menerima hadiah atau janji karena kewenangan/ kekuasaan jabatannya. Pelakunya pun tak hanya penyelenggara negara, bisa juga orang per orang, pegawai negeri kelas ’teri’, ahli bangunan, hakim, dan lain-lain.
---
Peraturan Perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia telah muncul sejak 53 tahun silam melalui Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat No.PRT/ Peperpu/ 013/ 1958. Berbagai tim bentukan Pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi pun terus bermetamorfosa mulai dari Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2000-2001), Komisi Pemberantasan Korupsi (2002-2003) hingga Tim Koordinasi Pemberantasan Tipikor (2005), Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (2009). Namun hingga saat ini, korupsi masih tumbuh subur di Negeri ini.
---
Data dari Transparency International Corruption Perception Indeks 2010 menunjukan bahwa Indonesia berada pada posisi terburuk dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2,8 (skala dari 1 sampai 10). Semakin besar nilai IPK suatu negara maka semakin bersih negara tersebut dari tindakan korupsi. Data tersebut menyejajarkan Indonesia dengan negara benin, Bolivia, Gabon, Kosovo dan Solomon Islands. Bandingkan dengan Singapore, negara tetangga yang memiliki IPK 9,3.
---
Apa yang menyebabkan jalan buntu pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia? Berikut analisis sederhana saya. Pertama, penegakan hukum yang tidak konsisten. Lihat saja, kasus penyuapan hakim Mutadi Asnun yang divonis 2 tahun penjara. Asnun yang semestinya jadi penegak hukum terbukti menerima suap Rp.50 juta. Juga kasus Jaksa Urip Tri Gunawan yang divonis 20 tahun penjara, karena terbukti menerima uang Rp.660 ribu dolar AS. Juga kasus-kasus dari para mafia hukum lainnya yang seharusnya menegakkan hukum namun justru merusak citra penegakan hukum di Indonesia.
---
Kedua, penyalahgunaan kekuasaan. Beberapa tahun yang lalu, Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Farouk Muhammad mengakui penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power yang dilakukan polisi masih tinggi di Indonesia. Abuse of power itu meliputi tindakan brutal dan korupsi. Praktek-praktek kolusi dan nepotisme yang merupakan teman dekat korupsi acap kali kita dengar mewarnai sistem rekruitmen dan sistem manajemen tidak hanya Kepolisian tetapi juga lembaga Negara lainnya. Ditetapkannya Sesmenpora Wafid Muharam terkait kasus suap pembangunan wisma atlit untuk Sea Games 2011 di Palembang, turut membuktikan adanya penyalahgunaan kekuasaan.
---
Ketiga, budaya upeti dan ucapan terima kasih. Mungkin karena terlanjur dikenal sebagai masyarakat yang santun, bagi orang Indonesia kurang pas rasanya tanpa menyertakan ‘amplop’ ketika menerima jasa dari orang lain, meskipun jasa itu adalah tanggung jawab yang seharusnya diberikan sebagai konsekuensi dari pekerjaan orang tersebut. Legalisir SK/Akte/Surat menyodorkan uang, mengurus kenaikan pangkat menyodorkan uang, membuat KTP/SM menyodorkan uang, apa saja yang berhubungan dengan birokrasi umum selalu diidentikkan dengan menyodorkan uang. Alasannya selalu ‘ucapan terima kasih’ tetapi sebenarnya adalah suap. Sampai kapan mau melestarikan budaya ini?
---
Keempat, keuntungan korupsi lebih tinggi dibanding kerugian bila tertangkap. Perhatikanlah kasus terdakwa korupsi subsidi pembangunan perumahan Griya Lawu Asri (GLA) Karanganyar, Fransiska Riana Sari beberapa tahun lalu. Ia divonis dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta, meski dalam kasus korupsi GLA terjadi kerugian uang negara senilai Rp. 1,54 miliar. Atau tentang si mafia pajak Gayus Tambunan yang didenda Rp. 500 juta padahal di Safety Box miliknya yang disita dari Bank Mandiri Jakarta beberapa waktu lalu terdapat kekayaan senilai Rp 74 Miliar.
---
Kelima, penciptaan lingkungan yang anti korupsi. Keluarga sebenarnya memberi peran strategis dalam menciptakan nilai-nilai anti korupsi kepada anak seperti rasa tanggung jawab. Di dalamnya terkandung nilai-nilai kewajiban, amanah, berani menghadapi, tidak mengelak, ada konsekuensi, berbuat yang terbaik. Namun faktanya, jarang sekali orang tua yang melatih anaknya untuk memiliki nilai tanggung jawab. Setiap hari orang tua yang memasukkan buku-buku ke dalam tas, anak-anak tidak dibiasakan untuk bangun pagi sendiri dan merapikan tempat tidur, makan disuapin, belajar disiapkan guru privat, dan banyak lagi kebiasaan yang tanpa sadar mencetak nilai-nilai anti korupsi. Termasuk gaya hidup sederhana yang jarang saya lihat dipraktekkan di keluarga-keluarga Indonesia.
---
Keenam, gagalnya pendidikan agama dan etika. Sebagai salah seorang pendidik, saya merasakan sistem pendidikan saat ini belum berhasil menanamkan nilai-nilai anti korupsi. Pendidikan agama seolah-olah terpisah dari kehidupan sekuler. Keberhasilannya hanya diukur sampai tingkat pengertian dan kemampuan anak didik dalam melaksanakan praktek-praktek agamawi, bukan pada apresiasi pada penampakan nilai-nilai kebaikan. Sekolah secara rutin menyelenggarakan doa bersama menjelang UN, namun praktek-praktek kecurangan terorganisir dianggap hal yang wajar. Jika hal ini terus menerus membudaya, sampai kapan impian kita menjadi Negara yang bersih dari korupsi akan terwujud?
---
(Jose Hasibuan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H