Kata "anjay" bukanlah hal baru dan asing di telinga oleh sebagian kita. Kata ini memang kerap disampaikan oleh anak-anak milenial saat terlibat percakapan langsung maupun di media sosial.
Saat awal-awal mendengar kata ini diucapkan oleh salah seorang siswa saat bercanda dengan teman-temannya di sekolah, saya pun sempat menjewer telinga siswa saya itu. Namun saat itu justru yang terjadi adalah tawa yang makin riuh. Ternyata tindakan saya itu dinilai lucu oleh siswa-siswa saya.
Sebagai seorang guru, saya menganggap kata "anjay" tidak pantas diucapkan karena merujuk pada binatang berkaki empat yang bernama anjing. Namun setelah ada sedikit dialog, siswa tadi menjelaskan bahwa ia tak bermaksud mengatakan "anjing" kepada temannya saat menyebutkan kata "anjay". Sejak saat itu, saya pun tak terlalu alergi dengan kata "anjay".
Beberapa waktu terakhir ini, kata "anjay" pernah saya lihat di kolom komentar video yang ditayangkan di YouTube. Namun jika saya coba menyelami maksud orang yang menuliskannya, sepertinya merupakan kiasan yang ingin menyampaikan rasa heran yang mungkin bisa juga hampir sama maknanya ketika mengatakan "wow".
Beberapa kali, kata ini juga saya lihat muncul di beranda medsos anak-anak milenial zaman now. Misalnya ketika kesal soal jaringan internet yang lemot ketika belajar daring, lalu anak tersebut mengekspresikannya dengan kalimat "Anjay! Jaringannya parah".
Kata "anjay" meski memang berasal dari kata "anjing", namun sepertinya makna kata ini telah memiliki seribu wajah, paling tidak bagi anak-anak ABG sekarang. Meski kata ini tidak nyaman bagi kita yang sudah lebih tua, namun kelihatannya tidak demikian bagi mereka-mereka ini.
Sebenarnya kata "anjay" tak ubahnya dengan dua kata yang akrab di telinga kita pada masa kampanye pilpres lalu, yaitu "cebong" dan "kampret". Seperti halnya "anjay", dua kata ini pun merujuk pada dua nama binatang berbeda.
Di awal-awal masa kampanye pilpres, saya juga sangat tidak cukup nyaman ketika dua kata ini banyak berseliweran di medsos. Dua kubu yang berseberangan, kerap menyebut kubu lawan politiknya dengan menggunakan kata "cebong" atau "kampret".
Kata "cebong" memang memiliki makna yang lebih lugas. Kata ini mengarah pada binatang amphibi yang cukup menggelikan yaitu "kodok". Dan tentu, jika tanpa basa-basi lalu saya disebut "kodok", pastilah telinga saya akan sedikit panas.
Demikian pula kata "kampret" yang berarti kelelawar, makhluk kecil pemakan serangga dengan hidung berlipat-lipat yang aktif mencari makan di malam hari. Pastilah tak ada yang senang jika dipanggil "kelelawar".
Namun ternyata, saling sapa dengan sebutan "cebong" atau "kampret" rupanya tak membuat ada yang tersinggung. Malahan dengan senang hati, pendukung fanatis tertentu justru senang menyebut dirinya dengan kata-kata ini yang mewakili kelompoknya.