Beberapa waktu lalu saya sempat menuliskan artikel "Seni Merayakan Pernikahan Itu Seperti Makan Ikan, Ambil Dagingnya dan Buang Durinya". Artikel itu saya tuliskan sebagai refleksi merayakan ulang tahun pernikahan saya dan istri bulan lalu.
Menurut saya, membangun pernikahan yang sehat itu susah susah gampang. Bukan berarti ketika menuliskan ini pernikahan saya dan istri berjalan mulus tanpa ada kerikil apapun yang terjadi. Justru artikel-artikel yang saya tulis mengenai topik ini adalah reminder yang saya perlukan ketika menjalankan kehidupan pernikahan bersama istri.
Setiap kita tidak terlahir sebagai orang yang mahir dalam urusan pernikahan. Bahkan kita tidak pernah dipersiapkan khusus dalam pendidikan formal bagaimana memasuki dunia pernikahan seperti halnya memasuki dunia kerja. Kita perlu seni agar dinamika dalam kehidupan pernikahan berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang dirancang di awal.
Ilustrasi "ambil dagingnya dan buang durinya", sebenarnya sedang mengingatkan kita bahwa selalu ada "duri" yang perlu diwasdapi dalam kehidupan pernikahan antara suami dan istri. Jika kita tidak berhasil memisahkan "duri" dari "daging" dalam kehidupan pernikahan dan membuangnya ke tempat sampah, maka akan berpotensi besar menimbulkan persoalan di kemudian hari.
Hari ini, saya diingatkan kembali tentang seni berikutnya dalam dinamika kehidupan pernikahan, yaitu bagaimana mengubah "duri" menjadi "daging" yang bisa dinikmati dengan alat "presto pernikahan".
Disadari atau tidak, banyak orang ternyata tidak bisa membedakan yang mana "duri" dan yang mana "daging". Atau mungkin saja bisa membedakannya, tetapi memilih menikmati "duri" seperti halnya menikmati "daging". Alhasil, saat "duri" ini dipaksakan untuk dinikmati, justru akan membuatnya tersangkut dileher dan menimbulkan luka yang dapat menjadi masalah besar.
Atau bisa juga sudah tahu membedakan, tetapi ingin coba-coba. Wah, ini sebenarnya sangat berbahaya. Ibarat masuk ke dalam lumpur hidup, sekali masuk kesana maka kita akan ditarik makin dalam dan sangat sulit untuk keluar dari sana.
Pada dasarnya, setiap orang pasti tahu, bahwa "selingkuh" itu adalah "duri" yang harus dihindari. Namun ternyata, tidak sedikit juga yang coba-coba dengan harapan tidak ketahuan.
Awalnya merasa nyaman sebagai teman curhat, karena memang pada dasarnya setiap kita butuh sahabat yang bersedia mendengar setiap keluh kesah. Tetapi salah besar jika kita memilih teman curhat yang lawan jenis. Perasaan nyaman, lama-lama bisa jadi makin lengket, dan bukan tidak mungkin jadi teman tapi mesra dan akhirnya jadi selingkuhan.
Awalnya mungkin saja memang tidak pernah berniat untuk "selingkuh", tetapi pilihan yang kita lakukan lah yang telah mengarahkan kesana. Tidak ada manusia yang benar-benar imun dalam hal ini, setiap kita adalah makhluk yang lemah dan sangat mungkin untuk jatuh ke dalam lumpur itu. Maka hal terbaik yang harus kita lakukan adalah waspada dan menghindar karena kesadaran diri bahwa kita sangat lemah dalam hal ini.