Tetapi jika sekarang seluruh dunia masih kesulitan menangani Pandemi ini, saya terus merenungkan apa maksud Tuhan atas semua ini?
Pertama, saya merenungkan, Covid-19 mengingatkan kita bahwa sesungguhnya manusia rapuh di hadapan Allah.
Di saat dunia kedokteran berkembang dengan begitu pesat, teknologi menguasi kehidupan manusia, manusia kelihatannya telah mampu mengelola bumi menjadi tempat yang nyaman dan baik adanya, kehidupan manusia mulai stabil, jarang terdengar ada kelaparan, dan sebagainya, tetapi justru kita disadarkan bahwa manusia adalah ciptaan yang lemah dan sesungguhnya tak berdaya.
Saat ini, orang-orang mulai mengkhawatirkan kondisi kesehatannya, baik fisik maupun psikis. Banyak orang mulai kuatir terhadap keluarga dan kerabatnya, khususnya kaum usia lanjut dan mereka yang lemah. Kita mulai gelisah memikirkan persediaan makanan, kuatir soal pekerjaan dan ekonomi keluarga, serta berbagai hal lainnya.
Merenungkan ini, saya dibawa pada pengakuan atas kerapuhan dan kelemahan saya sebagai manusia di hadapan Allah yang berkuasa. Pengakuan ini juga menyadarkan saya, hanya kepada Tuhan sajalah saya seharusnya menyandarkan hidup.
Saat ini, kita tidak dapat bersandar pada uang dan jabatan. Keduanya tidak dapat menjamin kita tetap sehat dan terhindar dari virus ini. Sebanyak apapun uang yang kita miliki, dan setinggi apapun jabatan kita saat ini tak menjamin kita bebas dan tak tertular.
Virus ini mengingatkan kita, agar tetap bersandar penuh pada Tuhan. Jangan hanya dalam kesulitan seperti ini kita datang dan berserah kepada-Nya, kita harus bersandar penuh pada Tuhan di semua keadaan, di saat senang maupun susah.
Kedua, virus corona mengingatkan kita tentang kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus. Roma pasal 8 yang kita baca di atas, bukanlah kata-kata seorang filsuf dari tempat duduk di ruang belajarnya, tetapi dari seorang manusia yang sudah melihat dan mengalami manis dan pahitnya kehidupan. Seseorang yang ditulis di Alkitab sering kali mengalami tantangan hidup yang besar, dialah Paulus.
Paulus mengalami banyak penderitaan dalam hidupnya. Ia kerap mengalami ketidakadilan lewat pemukulan dan pemenjaraan. Dia pernah mengalami sakit hingga dibiarkan merasakan setengah mati. Di sepanjang perjalanan hidupnya, ia sering mengalami kekurangan dan kesulitan. Bahkan Ia mengalami yang disebut 'duri dalam daging'.
Namun, ketika Paulus membandingkan penderitaan yang dialaminya dengan penderitaan Kristus di kayu salib, ia sampai pada kesimpulan bahwa penderitaan yang dialaminya tidak sebanding dengan penderitaan Kristus demi menebus dosa manusia.
Bahkan, dengan yakin Paulus berkata bahwa semua penderitaan yang dialaminya, tidak akan dapat memisahkannya dari kasih Allah. Ia sekalipun tak pernah menyalahkan Tuhan atas semua yang dialaminya. Bagi Paulus, mengasihi dan tetap percaya kepada Allah adalah yang utama, di atas semua rasa sakit dan kesulitan yang dialaminya.