Tahun 2003. Sebagai seorang Pamong Praja muda yang baru kembali usai menamatkan studi S2 di UI, saya ditempatkan sebagai Sekcam Talawi Kota Sawahlunto. Salah satu tugas yang sangat berkesan bagi saya kala itu adalah membantu mengurus KTP seorang perantau Talawi di Jakarta, yang ingin alamat di KTPnya yang semula di Jakarta menjadi berdomisili di Talawi berhubung niat beliau untuk mencalonkan diri menjadi Wali Kota Sawahlunto. Beberapa bulan kemudian, saya sungguh tak menyangka bila pemilik KTP itu berhasil mendominasi hati DPRD. Dia terpilih menjadi Wali Kota Sawahlunto, bahkan hingga dua periode. Dialah Bapak Ir.H. Amran Nur.
Rupanya interaksi kami tak berhenti sebatas KTP belaka. Tak lama setelah Pak Amran dilantik, tersiar kabar ia mencari seorang Sekretaris Pribadi atau Sespri yang bakal membantu secara teknis dan administrasi seluruh aktivitas beliau sebagai Wali Kota Sawahlunto. Peran Sespri diperkirakan bakal dominan mengingat basic beliau yang belum pernah memasuki ranah birokrasi. Sebelumnya Pak Amran dikenal sebagai pengusaha di Jakarta. Info tentang Sespri ini seperti angin lalu bagi saya, toh saya baru saja menuntaskan Pasca Sarjana dan bertugas di Kecamatan Talawi. Jadi tak terlintas sedikitpun Pak Amran akan melirik saya untuk menjadi Sespri beliau. Namun dugaan saya keliru, ponsel saya bordering, saya angkat, di seberang sana terdengar suara ajudan Wali Kota.
“Pak Sekcam lagi di kantor kan?, siap-siap tiga menit lagi kami menjemput,”
“Menjemput saya? ”
“Iya ini lagi bersama bapak, nanti oto Pak Wali singgah sebentar di depan kantor. Pak Sekcam langsung naik ya,”
“Siaap.” Ujarku tanpa ba-bi-bu lagi.
Mendapat telpon serupa itu, aku langsung lapor ke Pak Camat. Janggal saja rasanya, Wali Kota akan datang menjemputku lalu mengajakku naik otonya. Aku tak ingin pak camat berprasangka tak elok soal ini, nanti dicapnya pula aku anak buah yang tak beretika karena melangkahi atasannya. Pak Camat kemudian tersenyum mendengar laporanku, “Tak masalah Pak Sek. Pak Wali kita sekarang tipenya memang begitu, tak perlu birokrasi-birokrasian.”
Menunggu tiga menit yang dijanjikan itu terasa sangat lama karena dalam kepalaku penuh dengan berbagai pertanyaan. Ada apa gerangan Bapak Wali Kota yang baru itu menjemputku. Mengapa aku bukannya Pak Camat. Mengapa aku tidak dipanggilnya saja ke kantornya. Lamunanku buyar tatkala mataku menangkap Mobil Dinas Hitam bernomor polisi “BA 1 R”.
Di dalam oto, kami duduk berdampingan di kursi tengah. Kursi depan ditempati ajudan wako dan drivernya. Pak Amran membuka cerita bahwa ia baru saja kembali dari melihat-lihat kondisi desa-desa yang ada di Talawi. Istilah zaman sekarang, Pak Amran baru usai blusukan. Lalu obrolan kami mengalir seputaran pengelolaan pemerintahan di era Otonomi Daerah. Lebih jauh Bapak Amran seperti ingin lebih mengakrabkan diri, beliau menanyakan tentang tempat tinggal saya, orang tua saya, saudara bagaimana dan seterusnya. Dan akhirnya, poin penting itu meluncur dari bibirnya, “Jose, bantu bapak ya, jadi Sespri. Besok kita mulai.”
Kalau ada yang bertanya suka atau tidaknya aku menjadi Sespri, dari lubuk hati yang paling dalam aku akan menjawab tidak suka, karena aku membayangkan tugas-tugasku yang senantiasa berkaitan dengan tugas-tugas Pak Wali Kota. Aku akan terikat, tidak bebas dan yang pasti tidak berkembang. Namun seiring berjalannya waktu, aku menikmati posisi ini dan yang paling menguntungkan aku bisa belajar langsung bagaimana Pak Amran menghidupkan Sawahlunto yang waktu itu nyaris menjadi kota hantu.
Sebagaimana kita ketahui, Sawahlunto di awal kepemimpinan Pak Amran yang berpasangan dengan Pak Fauzi Hasan adalah Sawahlunto yang sekarat. Batubara yang menjadi andalan telah tandas, ribuan pekerja tambang PT BA UPO dipensiun dinikan, kereta api tak lagi berfungsi, harapan seperti punah untuk tinggal di Sawahlunto. Namun Pak Amran rupanya bukanlah sosok yang mudah menyerah, dengan gigih saya saksikan beliau berjuang menggairahkan kembali Sawahlunto. Harapan demi harapan beliau tabur dengan sabar. Alhasil, Sawahlunto kembali bergeliat, tak hanya tingkat nasional, namun hingga ke langit internasional.
Hasil gemilang yang diraih Sawahlunto menunjukkan kualitas kepemimpinan Pak Amran yang punya cita rasa. Ia berhasil mengemas sesuatu yang semula disangka tak bernilai menjadi bernilai. Coba googling saja bagaimana Museum Kereta Api Sawahlunto bisa berdiri tegak. Bagaimana barang “rongsokan” dikumpul dan dihimpun dalam Museum Gudang Ransum. Lubang mengenaskan dijadikan objek wisata bernama Lubang Soero. Bekas lahan tambang dijadikan Lapangan Pacu Kuda dan Kebun Binatang Kandis. Kolam angker Zaman Belanda dijadikan Water Boom yang kemudian dicontoh oleh daerah-daerah lain di Sumbar. Dan masih banyak lagi hal-hal yang semula tak disangka-sangka, namun oleh Pak Amran mampu diwujudkannya. Ya.. bisa dikatakan Pak Amran telah menyulap barang bekas menjadi barang berkelas.
Sebagai Sespri Pak Amran saya banyak belajar bagaimana sesungguhnya seorang abdi masyarakat itu. Sekitar tahun 2005, dengan ketulusan dan kesabaran beliau membujuk rayu masyarakat Tanah Lapang agar kawasan itu ditertibkan lalu dijadikan Homestay. Tujuannya, selain mengatasi kesemrawutan akibat padatnya rumah-rumah di sana, juga untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Karena banyak juga turis-turis yang tiba ke Sawahlunto waktu itu ingin berbaur langsung dengan masyarakat, namun apa daya rumah-rumah penduduk banyak yang belum memenuhi standar. Sehingga dengan segala pertimbangan, Pak Amran memilih Tanah Lapang menjadi kawasan homestay.
Saya ingat ketika di Bulan Ramadhan, Pak Amran memberi sambutannya di mushola yang berada di tengah Kelurahan Tanah Lapang. Ia ingin menyentuh hati masyarakat, bahwa penataan Tanah Lapang tidak akan merugikan penduduk namun justru menguntungkan mereka. Hitung-hitungan layaknya seorang pengusaha pun ia beberkan.
Namun di luar mushola terdengar teriakan kurang pantas dari beberapa warga. Pak Amran lalu mengajak orang yang teriak-teriak itu untuk bergabung berdiskusi dengannya di mushola. Tapi orang yang membuat ricuh itu tetap di luar, tetap berteriak-teriak, dan tetap mengecam segala pemaparan Pak Wali Kota. Saya ingat, akhirnya Pak Amran hanya berkata, “Saya bisa saja saat ini, atau setiap hari tidur-tiduran di rumah. Kerja duduk-duduk saja, menerima tamu, resmikan ini dan itu hingga masa tugas saya habis sebagai Wali Kota. Dengan kerja seperti itu, saya juga terima gaji tiap bulan. Tapi itu tidak saya lakukan.”
Pak Amran berhenti sejenak. Orang di luar juga tidak ada yang berteriak-teriak. Lalu dengan nada terisak Pak Amran melanjutkan, “coba bapak-ibu pikirkan, kalau gaji sebagai Wali Kota yang saya terima tetap sama, lalu buat apa saya repot-repot membangun kota ini? Buat apa saya hampir setiap hari kesini menjelaskan tetang pentingnya penataan Tanah Lapang ini kepada bapak dan ibu? Ini semua karena kepedulian dan kecintaan saya pada Sawahlunto.” Lalu saya melihat Pak Amran meneteskan air matanya. Semua hening.
Tanah lapang saat ini menjadi kawasan yang nyaman berkat sentuhan Pak Amran, tidak saja tanah lapang saya kira, seluruh titik di Sawahlunto tidak terlepas dari keringat dan air matanya. Bukan rahasia umum lagi bila Pak Amran orang yang emosional, ia gampang marah namun sebaliknya juga mudah terenyuh dan lalu menitikkan air mata. Dan semua orang juga tahu, marah dan air mata itu beliau suguhkan hanya untuk Sawahlunto.
Selamat jalan Pak Amran. Semoga Allah SWT mencintaimu seperti engkau mencintai Sawahlunto.
ket : artikel ini telah dimuat di harian Padang Ekspres, Jumat 24 Juni 2016.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H