Di hari tua Bapak, banyak hal yang diceritakan kepada kami, anak-anaknya. Tentang masa kecilnya yang dibesarkan oleh kerabat dekat karena kedua orang tuanya, atau kakek-nenek kami, sudah tiada. Bahkan Bapak belum sekalipun melihat wajah kedua orang tuanya.
Meluncur juga bagaimana masa prihatin ketika terjatuh dari pohon kelapa.
"Kelas III aku jatuh dari pohon kelapa. Beberapa bulan nggak masuk sekolah."
Dari ucapan Bapak, beliau merasa tak mengira bisa bertahan hidup dengan kondisinya yang sangat memprihatinkan. Kaki beliau pun harus cacat karena peristiwa itu. Ya, kalau berjalan, Bapak agak pincang.
"Bapakmu gini jalannya, Da. Hahaha," ucap Rohmadi, teman sekelasku. Cemoohan itu disambut dengan tawa dan ejekan dari teman-teman lainnya.
Ya, teman-teman masa SD-ku sering mengolok-olok Bapak di depanku dengan menirukan cara berjalan Bapak. Rasanya aku kesal. Namun aku tak pernah menceritakan ejekan teman-teman kepada Bapak. Aku cukup menyimpan rasa sakit hati dan tidak terima, sendirian.
Dalam hatiku bertanya, kenapa mereka tega berbuat seperti itu, toh aku tak meminta siapa yang akan jadi bapakku. Bapak pasti dulunya tak mau kalau mengalami cedera seperti yang dialaminya.
Rasa kesalku semakin bertambah kepada teman-teman, karena mereka sering membully-ku. Ada saja alasannya. Bahkan ketika shalat tarawih di bulan Ramadan, dengan usil dan teganya mereka menggelitiki telapak kakiku. Karena usilnya teman-teman, aku menangis dan membuat kakakku marah. Entah marah kepadaku, atau kepada teman-teman yang menggangguku.
"Jangan marah begitu, Ndhuk. Yang penting kamu sudah jagain adikmu," ucap Bapak, menenangkan kakak.
***