Ibu tampak menunggu di kursi yang berada di ruang tengah. Dia selalu mengajak kita ke masjid, sebagai rasa syukur kepada Sang Khaliq, katanya.
"Shalat nggak harus ke masjid kan, Bu? Apalagi perempuan," ucapmu, mencoba untuk menghindari ajakannya untuk menembus pekat kabut saat Subuh.
"Memakmurkan masjid itu harus dilakukan. Masjid cuma di seberang jalan kok," ucap Ibu yang mencoba untuk memberi pengertian kepadamu, yang ngeyelan.
"Sama Dewi saja, Bu. Aku shalat di rumah!" serumu, entah sadar atau tidak, suara kerasmu mengejutkan aku dan Ibu tentunya.
"Rinta! Kalau nggak mau ke masjid ya udah, nggak usah bicara gitu sama Ibu," ucapku sengit, sambil menatapmu.
Ibu tersenyum. Tangan kanannya mengusap lenganku dan anggukannya bertanda sudah mengajakku ke masjid.
Kami berjalan dengan menahan rasa dingin. Kabut tebal menyelimuti kampung kita yang masih alami. Pepohonan menghias sepanjang pinggir jalan. Lampu penerangan hanya terpasang di beberapa titik, suasana pagi benar-benar temaram.
"Melawan nafsu itu berat, Dewi. Itu cobaan terberat manusia," ujar Ibu.Â
Tak ada ucapan lagi setelahnya. Aku hanya mengingat, dalam sebuah tausiyah yang kuikuti beberapa waktu lalu, sudah selayaknya manusia itu selalu berdoa untuk berlindung dari cobaan.
"Nafsu itu bisa menjadi cobaan untuk diri sendiri dan orang ya, Bu."
"Iya, Wi. Kalau nggak bisa mengendalikan nafsu, kita bisa jadi sumber masalah orang. Makanya ada doa untuk berlindung dari tetangga yang menyakiti," ucap Ibu setelah kupancing dengan ucapanku tadi.