Mengajar di kelas III sudah memasuki tahun kedua. Sebagai guru, pasti banyak hambatan yang ditemukan. Ini tak hanya bagi guru SD seperti saya, bahkan guru SMP dan SMA atau sederajat pasti juga banyak menemukan hambatan dalam proses pembelajaran.
Kemampuan membaca dan berhitung sebagai hal dasar bagi peserta didik, memang menjadi PR besar bagi siapapun yang berkecimpung di dunia pendidikan. Di tingkatan Sekolah Dasar, ada peserta didik kelas VI yang belum lancar membaca dan sulit mempelajari operasi hitung yang paling sederhana seperti penjumlahan dan pengurangan.
Pada Fase B (kelas III dan IV), terutama di kelas III ini pun saya mendapati beberapa siswa yang keliru dalam menghitung operasi penjumlahan bilangan cacah. Tak jarang siswa masih menggunakan jari-jari tangan untuk menghitung penjumlahan dan pengurangan.Â
Penggunaan jari-jari itu masih wajar diterapkan oleh peserta didik kelas bawah atau sekarang peserta didik pada fase A (kelas I dan II) dan fase B. Tetapi yang saya temui, ada seorang peserta didik yang saya tuntun untuk menghitung dengan jari-jari tangan, ternyata tidak bisa.
Akhirnya saya berinisiatif untuk mengajak peserta didik itu untuk menghitung dengan benda konkret seperti pulpen, pensil maupun spidol yang saya simpan pada tempat pensil saya.
Dalam proses pembelajaran pun tak selancar peserta didik lainnya. Ketika melakukan penghitungan seperti itu, peserta didik tadi saya minta untuk duduk di meja guru, didekat kursi saya.
Peserta didik lainnya yang sudah tahu konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan cacah, ada yang ikut berdiri atau mengelilingi pembelajaran untuk peserta didik dengan hambatan intelektual itu.
Ada siswa yang mengeluarkan celetukan, "mosok kaya ngono kok ora isa" artinya "masa menghitung seperti itu (penjumlahan dan pengurangan) kok nggak bisa."
Peserta didik yang menjadi bahan celetukan menengok ke arah temannya tadi. Saya pun langsung menegur peserta didik yang mengeluarkan celetukan tadi.
"Coba kamu kembali ke tempat duduk, biar nggak ganggu, ya!"
Perintah saya dituruti oleh peserta didik tadi. Lalu bagaimana proses belajar peserta didik yang memiliki hambatan intelektual tadi?
Dia belajar dengan pelan. Menghitung satu per satu spidol, pulpen atau pensil, sesuai bilangan cacah pada soal yang saya buat. Setelah itu, jika soal berupa soal penjumlahan makan saya minta dia menyiapkan alat tulis tadi dan menghitung. Proses menghitung pun mulai dari bilangan 1 sampai hasil penjumlahannya. Begitu juga jika soalnya berupa operasi pengurangan.
Si anak tadi ketika ditanya 5-1 hasilnya berapa, kalau tanpa media pasti hanya diam sembari matanya melihat ke kanan kiri. Konsepnya belum dipahami oleh dia. Karena itu, barulah dia saya beri media untuk menghitung operasi pengurangan tadi.
Proses penghitungan tentu lebih lama daripada operasi penjumlahan. Memang pada materi pengurangan, biasanya peserta didik agak repot menghitungnya. Andalannya ya tetap menggunakan media ajar seperti pulpen, pensil atau spidol.
Operasi penjumlahan dan pengurangan adalah materi sederhana, namun tak semua peserta didik bisa lancar dalam menghitungnya. Oleh karenanya, perlu kejelian dan kesabaran dari pendidik atau guru untuk melayani peserta didik yang memiliki hambatan intelektual.
Tugas pendidik memang tak mudah, namun bukan berarti pendidik harus angkat tangan. Pendidik harus menyadari bahwa peserta didik memang sebagai individu yang unik. Cara belajar mereka tidak sama.Â
Yang tak kalah penting, pendidik harus bisa memberikan pengertian dan pemahaman kepada peserta didik reguler agar tidak merasa iri dan tidak menghina teman yang terhambat karena materi yang diberikan tidak sama tingkat kesulitannya dan harus menggunakan benda konkret untuk menghitung operasi penjumlahan dan pembagian.
Pada awalnya pasti akan ada protes, kenapa materi yang diberikan kepada peserta didik yang memiliki hambatan intelektual lebih mudah. Ada juga cemoohan ketika menghitung menggunakan media berupa benda konkret. Namun mereka harus tetap diberikan pengertian dan pemahaman bahwa temannya tadi tidak sama kemampuannya.Â
Siswa dengan hambatan intelektual juga merasa dihargai dan tidak akan berkecil hati atas kemampuan yang dimilikinya. Dengan begitu, maka pembelajaran akan berjalan lancar dan nyaman.Â
___
Melikan-Branjang, 27-28 Agustus 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H