Kudengar suara tangismu kuluapkan amarah padamu. Aku begitu kesal. Kamu berani membantah ucapan dan perintahku.Â
Kamu hanya kuminta untuk melepas gorden yang sudah mulai kotor oleh debu, lalu membawanya ke loundry. Aku begitu kecewa dan dengan ringan mengeluarkan kata-kata yang ternyata membuatmu menangis.
"Apa-apa malas," ucapku geram, sembari kakiku menendang mainan si kecil yang ada di depanku. Mainan itu membentur dinding hingga mengeluarkan suara keras.
Setelah itu, aku langkahkan kaki ke ruang tengah. Untuk meredakan amarah, kusetel tayangan televisi. Daripada aku terus mengingat betapa ngeyelnya kamu.
Namun tak berapa lama kudengar ucapanmu di antara isak tangis.
"Terserah kamu bilang apa, Mas. Aku memang istri pemalas. Tahunya cuma rebahan dan pegang handphone."
Aku lupa kalau kamu itu yang menyiapkan segala sesuatu untukku dan anak-anak. Sampai-sampai kamu lupa untuk memerhatikan dirimu sendiri.
"Aku tadi masih sibuk mengurusi persiapan kakak yang mau masuk pondok besok, Mas. Kamu nggak tahu, aku kepontang-panting nyari apa saja yang dibutuhkan dia," ucapmu dengan sesenggukan.
Suara tangis masih kudengar.
"Kamu nggak tahu urusan seperti itu. Urusan anak hanya jadi tanggunganku. Kamu tahunya semua beres. Sekarang, aku cuma menunda untuk nyuci gorden. Besok mau kucuci. Kalau mau masukkan ke loundry, Mbak Ina yang punya loundry itu nggak suka aku, Mas."