Entah untuk ke berapa kalinya aku berada di depan Instalasi Farmasi Rumah Sakit swasta ini. Antri menunggu obat untuk meredakan dan mengurangi derita yang kualami. Ya meski sudah kurasakan kesehatanku lebih baik daripada beberapa bulan kemarin.
Kulihat sekelilingku. Ada pasien yang memainkan gadgetnya, bicara dengan sanak famili yang mengantarnya, resah gelisah tanpa tahu apa yang akan dilakukan. Ada juga yang mengeluh karena obat tak juga diberikan oleh petugas.
Kebanyakan pasien itu adalah pasien yang berkonsultasi dengan spesialis kejiwaan atau psikiater. Aku bisa katakan itu karena memang jadwal praktik dokter kali ini khusus untuk pasien kejiwaan, dan saat petugas memanggil pasien tanpa dengan pengeras suara.
Seorang wanita seusiaku yang kukenal pun kuajak ngobrol. Aku tak mau kalau dianggap sombong. Beliau duduk di kursi depanku.
Wanita itu adalah teman saat aku duduk di bangku SMP, namanya Bu Anna. Wajahnya tak berubah sejak dulu, jadi aku tak pangling sama sekali. Sekalipun ada kerutan di sudut mata atau punggung tangannya.
"Keluhan yang dirasakan apa, Bu?" tanyaku kepada temanku itu.
Dengan senyum ramah, beliau bercerita kalau mengantar anaknya untuk berkonsultasi dengan psikiater. Anaknya masih SMA.
"Anak saya sulit tidur, Pak. Sampai saya bingung. Daripada dia begitu terus, saya ajak ke psikiater."
"Terus?"
"Alhamdulillah, sekarang sudah membaik. Tapi ya harus rutin ke sini. Biar pelan-pelan bisa lepas dari obat."