Gadis yang beranjak remaja itu mengeluh. Dia adalah anakku, Saudah. Dibandingkan dengan teman sebayanya, Saudah memang tergolong pribadi introvert. Jarang bergaul dan tertutup. Bukan berarti dia tak mengenal teman sebayanya. Dalam waktu tertentu dia mengunjungi rumah temannya, sekadar mengajaknya ke masjid atau musala. Itu jika dia merasa tak menemukan salah satu temannya di masjid atau musala.
Aku sendiri tak pernah memaksakan agar Saudah bisa seperti temannya yang supel. Toh kusadari kalau keadaannya mengingatkanku, bagaimana kondisiku saat remaja dulu yang tak jauh berbeda dengannya. Seiring berjalannya waktu, aku bisa lebih terbuka, setelah rasa percaya diriku lebih besar.
***
Aku kini berusia dua puluh dua tahun. Alhamdulillah kini aku tengah menunggu waktu wisuda. Perjuangan luar biasa yang kurasakan semenjak aku kanak-kanak hingga dewasa seperti ini.
Kubayangkan saat-saat aku masih berusia belia. Aku sering berteriak dan menangis karena tidak terima saat teman-teman membully.
"Yang sabar, Saudah. Kalau kamu dicemooh, dikerjain teman-temanmu, kamu ingat satu hal. Kamu harus sabar. Di saat kamu sabar maka dosa-dosa kamu akan berkurang. Dosa teman kamu bisa bertambah," nasehat Ibu waktu itu.
Aku belum bisa mencerna nasehat itu. Namun aku bersyukur, Ibu selalu memotivasiku. Juga membimbingku hingga aku bisa mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih daripada teman-teman.
Kuingat lagi, saat kecil dan ditanya tentang cita-cita oleh Pak Anom, guru di kelas VI, akupun diejek teman-teman.
"Aku ingin jadi chef atau desainer," jawabku pelan.
Langsung saja sorak sorai dari teman yang hobi membully kudengar. Untung saja Pak Anom sigap menasehati teman-teman.