"Sayonara, Mas," tulisku pada selembar kertas putih.Â
Lembaran itu melengkapi ratusan lembar yang sudah kutuliskan sejak Mas Rafka menjauhiku. Aku tak tahu kenapa dia menjauhiku. Namun, aku masih mengirim pesan hingga dia memperingatkanku.
 "Kau jangan seperti anak kecil, Eirene." Atau, "Kalau bertanya itu yang berbobot, Eirene."Â
Pesan-pesan seperti itu membuatku bertekad untuk lebih dewasa dan belajar tentang hal-hal yang disukainya.Â
Kalau rindu mendera, kutahan rasa itu. Kalau tiba-tiba aku berpikir, ada perempuan yang membuatnya jatuh hati, kuyakinkan diri bahwa dia menjaga hatinya.Â
Namun, waktu yang dijanjikan untuk menemuiku tak kunjung ditunaikan. Dia sudah menjadi sarjana, tapi dia memutuskan untuk kuliah lagi. Terpaksa aku menantinya lagi.Â
Hingga kemarin ada kabar mengejutkan dari teman kerjaku, Azri. "Kamala adikku mau dilamar, Eirene. Calonnya bernama Rafka," ceritanya sambil menunjukkan foto sang adik bersama lelaki pilihannya.
Aku terkejut saat mendengar cerita dan melihat foto itu. Akhirnya kupahami, Mas Rafka menjauhiku karena telah mendapatkan perempuan yang lebih daripada aku.Â
"Eirene, apa kau bisa mendampingiku pas acara lamaran Kamara?" tanya Azri.Â
Tak sepatah kata keluar dariku. Kulangkahkan kaki, seiring hampanya hati.