Sebuah layang-layang biru berukuran besar terlihat di dekat gentong. Gentong itu merupakan wadah beras yang terbuat dari batu. Ditutup dengan papan kayu yang dibentuk lingkaran dan diberi pegangan.
Gentong itu masih dipakai sampai sekarang. Meski saat ini sudah banyak yang menggunakan wadah modern untuk penyimpanan beras.
"Sayang kalau nggak digunakan lagi, Ya!" ucap Ibu saat Aya merasa heran karena menyimpan beras tetap di gentong peninggalan Simbah Buyutnya.
Ada satu gentong lagi yang ukurannya lebih besar. Gentong itu digunakan untuk menyimpan air untuk memasak atau minum. Kalau untuk mencuci piring atau pakaian hanya menggunakan ember saja.
***
"Kok tiba-tiba ada layang-layang ini ya?" batin Aya.
Aya mengamati layang-layang yang ditemukannya. Terlihat biasa. Hanya saja, warna birunya mulai memudar.
"Itu layang-layang lama, Ya. Dulu dibuat sama bapakmu. Buat kakangmu, Dimas."
"Berarti memang sudah lama ya, Bu. Mas Dimas saja sudah SMP kelas IX."
"Iyo. Kalau mau main layang-layang itu, sebaiknya diganti dulu kertasnya. Kertas itu pasti sudah mudah terkoyak kalau kena angin," saran dari Ibu.
Aya mengambil layang-layang buatan bapaknya itu. Tepatnya layang-layang mainan Mas Dimas. Lalu dibawa ke luar rumah dan diletakkan di atas kursi kayu depan rumah.
"Hai, Aya!"
Momon, teman Aya, memanggilnya dari arah jalan. Aya menjawab sapaan itu.
"Apa itu, Ya?"
Momon mendekati Aya. Pandangannya tertuju pada layang-layang biru yang baru saja dibawa Aya.
"Layang-layang Mas Dimas, Mon."
"Ah, yang bener?"
Momon mengamati benda itu.Â
"Tapi memang layang-layangnya kelihatan tua," selorohnya.
Layang-layang itu dipegang dan diangkat Momon. Semua bagian layang-layang diperhatikan dengan baik.
"Gimana kalau kita main layang-layang ini?"
"Kertasnya diganti dulu, Mon!"
"Ah. Nggak perlu. Kita kan mau coba saja layang-layangnya."
Momon segera membawa layang-layang ke lapangan desa, tempatnya bermain layang-layang. Diikuti Aya yang berjalan di belakangnya.Â
Di sana sudah ada Aqila. Aqila ini jago main layang-layang, meski seorang anak perempuan. Aya ingin sekali seperti Aqila.
Tak lama layang-layang sudah terlihat di awan. Angin sangat bersahabat dengan layang-layang itu. Momon, Aya dan Aqila sangat riang gembira.
Tiba-tiba layang-layang Aya yang dimainkan Momon bergerak cepat. Seakan mau putus benangnya. Dengan sigap Momon mengendalikan layang-layang itu.
"Nah kan, apa kubilang. Layang-layangmu ini bisa buat main," ucap Momon.
"Iya, Mon. Tapi coba kita lihat sekitar kita sekarang," ucap Aya.
Momon, dan Aqila terperanjat. Mereka tak lagi berada di lapangan tadi. Di sekitarnya terlihat gunung berapi. Anehnya gunung itu terbuat dari permen dan terlihat warna-warni.
"Wah...Kita berpetualang sekarang!" teriak Aqila.
Ya, mereka senang sekali. Bisa menikmati keindahan alam yang unik itu.Â
"Kalau gunung ini seperti permen, pabriknya mana ya?"
"Entahlah. Yuk, kita mendekati gunung itu!" ajak Momon.
Mereka mendekati gunung dan penasaran dengan bagian puncak gunung itu.
"Hai, anak-anak baik. Yuk, kuantar kalian melihat puncak gunung itu!"
Layang-layang itu ternyata bisa berbicara! Luar biasa.
"Caranya?" tanya Aqila.
"Kalian naik ke atas permukaanku ini!"
Satu persatu mereka naik ke atas permukaan layang-layang. Ajaib, meski ukuran kecil, layang-layang itu bisa menampung mereka bertiga.Â
Perlahan-lahan layang-layang itu terbang tanpa ditarik ulur benangnya. Layang-layang itu terbang di atas puncak gunung.
"Kita tak boleh mencicipi rasa gunung itu ya! Khawatir terjadi sesuatu," nasehat Layang-layang.
Mereka menyetujui nasehat Layang-layang. Mereka hanya menikmati pemandangan saja.Â
Setelah puas, mereka minta diturunkan di sisi gunung dan beristirahat. Saat asyik beristirahat, tiba-tiba cuaca mendung. Mereka mencari tempat berlindung. Apalagi mereka harus mengamankan layang-layang tua milik Aya.
Mereka agak kesusahan mencari tempat istirahat yang aman dari hujan.
"Lihatlah di balik pohon besar itu! Di sana ada gua. Tapi tidak terlalu luas," ucap Layang-layang.
Anak-anak itu mengikuti petunjuk Layang-layang. Alangkah kagetnya saat melihat gua itu. Sempit dan hanya bisa ditinggali dua orang.Â
Akhirnya mereka berebut untuk berteduh di sana. Masing-masing tak mau kehujanan. Mereka sadar kalau tak membawa baju untuk ganti.
"Sebaiknya Aya dan Aqila saja yang berteduh di gua ini," usul Momon.
"Tapi, nggak adil dong, Mon!" seru Aya.
"Iya, harusnya kita semua berteduh bareng. Wong tadi saja kita senang-senang bareng," protes Aqila.
"Tapi kalian lihat. Guanya sempit. Cuma cukup untuk dua orang. Lagi pula, ada anak perempuan, maka mereka harus lebih diutamakan," terang Momon.
Akhirnya Aya dan Aqila terteduh di gua itu. Sedangkan Momon berjaga di sekitarnya.
Mendekati malam, suasana sekitar gua itu menjadi lebih sepi. Namun ada Manusia Permen yang terlihat beda dari ketiga anak itu.Â
"Dari mana kalian ini? Kenapa bisa sampai desa Permen, tempat tinggalku?"
Momon menceritakan kepada manusia permen itu dan menanyakan di mana bisa membeli nasi di sekitar tempat mereka berada.
"Kalian di sini tidak bisa mendapatkan makanan seperti yang kalian santap setiap hari. Hanya ada bahan permen. Pasti tidak bisa menghilangkan lapar kalian."
Terpaksa malam itu mereka menahan lapar. Mereka berharap esok pagi tidak hujan dan bisa bermain layang-layang dan memutuskan benang layang-layang agar bisa pulang ke rumah masing-masing. Itu nasehat dari manusia yang berbincang dengan Momon. Nasehat itu diberikan setelah Manusia Permen itu mengamati layang-layang Aya.
"Jika kalian ingin kembali ke desa kalian, mainkan layang-layang itu dan putuskan benangnya," nasehat Manusia Permen.
"Kalau layang-layang tidak putus, kalian akan dibawa berpetualang ke tempat-tempat yang tak pernah kalian temukan di desa kalian," lanjut Manusia Permen.
Keesokan paginya, langit cerah. Aya dan teman-teman gembira karena tak lama lagi akan bermain layang-layang. Gunung yang kemarin membuat mereka takjub, kini terlihat agak basah karena hujan semalam.
"Suatu saat kita akan mengenang tempat ini," ucap Aya.
"Iya. Benar kamu, Ya! Kita cukup mengenang. Kalau saja kita membawa HP, pasti bisa memotret tempat kita berpetualang kita kemarin."
"Hahaha. Kan kita nggak punya rencana seperti ini," sahut Momon.
Mereka berlarian sambil menunggu angin yang akan melambungkan layang-layang mereka. Saat angin berhembus, Momon beraksi.
Layang-layang terbang sempurna di desa permen. Mereka melihat ke arah layang-layang.Â
"Bagaimana, kita lakukan sekarang?" tanya Aqila.
Momon dan Aya mengangguk.Â
"Apa kita nggak mau berpetualang lagi?"
"Nggak, Aqila. Kasihan bapak dan ibu. Pasti sudah mencari kita."
Aqila segera mengambil kayu yang menyerupai pisau untuk memutuskan benang layang-layang. Dengan susah payah, layang-layang itu putus.
Begitu melihat sekitar, mereka sudah berada di lapangan desa. Mereka bergegas pulang. Pasti bapak dan ibu telah mencari mereka semalam.
___
Branjang, 9 Desember 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H