Anak-anak kecil berjalan di bawah terik matahari di mana aku bertugas saat ini. Mereka bertelanjang kaki. Kaki mereka sudah bersahabat baik dengan jalanan yang dilaluinya setiap hari. Senyum mereka riang.Â
Mereka ke pos jaga dengan berbagai alasan. Begitu dekat pos jaga, mereka berlomba lari. Di antara mereka ada yang membawa sayuran dan buah hasil kebun keluarganya. Ada juga yang tak membawa apapun.Â
Aku dan teman di pos biasanya mengganti barang bawaan mereka dengan aneka makanan ringan seperti Beng Beng, Marie Roma Kelapa, susu kotak, dan makanan lain yang kebetulan dikirim ke pos.
Jujur saja, saat mau diberangkatkan ke daerah paling timur Indonesia ini, keluarga terutama ibu mengkhawatirkan aku. Ya, seperti teman-teman yang dikhawatirkan oleh isteri, atau keluarga masing-masing.
Peluk dan tangis mengantarkan kami sesaat setelah pelepasan ke Papua. Kami yang sudah mengambil keputusan menjadi abdi negara, pasti siap apapun keadaannya. Meski menguatkan hati keluarga bukanlah hal yang mudah.Â
Beruntunglah aku belum punya pasangan, jadi belum melihat nyeseknya seorang perempuan menangis tersedu saat mengantarkanku ke tempat tugas. Tapi jangan dikira kalau aku tak sedih ketika harus berjauhan dengan ibuku. Ibuku-lah yang membesarkanku dan kakak-kakak sepeninggal ayah.
Pelukan ibu menghangatkan hatiku yang akan berjauhan dengannya. Namun air mata yang menggantung di matanya tak kuasa kulihat. Aku lebih memilih untuk memeluknya erat dan mencium kepala perempuan terkasihku itu.
"Hati-hati ya, Le. Ngibadahe aja nganti ditinggalke (Ibadahnya jangan sampai kamu tinggalkan)," pesan ibu saat tubuh tua-nya dalam pelukanku.
"Nggih, Bu. Insyaallah," jawabku singkat.
"Ibu jaga kesehatan nggih. Ampun ngoyo teng peken (jangan ngoyo ke pasar)," pesanku.