Aku seorang anak laki-laki. Umur sudah enam tahun lebih. Tak seperti teman lainnya, aku masih senang bermain, lari-lari, loncat-loncat. Untuk duduk rasanya tak nyaman. Duduk beberapa detik lalu jalan cepat dan seterusnya.Â
Aku tak begitu merasakan kesedihan yang ibuku alami. Tapi rasa khawatir akan keadaanku pasti ada di hati ibu. Apalagi mendekati pendaftaran anak-anak ke sekolah-sekolah.
Di saat teman seumuranku sudah mendaftar ke SD, aku belum didaftarkan. Aku belum bersekolah. Sebenarnya pernah juga sih ibu mengajakku ke sebuah TK. Tetapi begitu aku lari ke sana kemari, tak memikirkan bahaya, ibu langsung mengajakku pulang. Aku tak diajak lagi ke TK itu.
***
Kata orang-orang, aku adalah anak hiperaktif. Jadi, aku harus diajar di sekolah khusus. Bukan di sekolah-sekolah pada umumnya.
Tak ada masalah bagi ibu. Yang dipikirkan ibu adalah bagaimana mengantar dan menjemputku. Soalnya kalau membonceng motor, aku sering memegang setang motor biar ibu membelokkan motor sesuai keinginanku. Atau kalau tidak dituruti, aku nekat turun dari motor meski motor ibu masih melaju di jalan.
Kalau sudah begitu, ibu berteriak karena panik dan khawatir kalau kami jatuh di jalan. Aku dan ibu pernah jatuh di depan rumah. Waktu itu aku ingin segera turun, padahal motor belum berhenti.
"Adik, kalau mau turun itu motornya biar berhenti dulu. Biar nggak jatuh," nasehat ibu yang kudengar sambil lalu.
Oh iya...saking hiperaktif, bicaraku belum jelas dan belum lancar. Jadi, ibu mengajakku bicara pelan-pelan. Hingga akhirnya aku bisa bicara monolog. Kadang ibu kaget ketika aku mengucapkan kalimat yang baru.Â
Kalau untuk mengobrol, aku masih harus ditepuk pada bagian bahu atau wajahku diarahkan ke wajah ibu. Cara bicara ibu langsung diarahkan ke jawaban mana yang harus kupilih.