Segala persiapan untuk lamaran sekaligus ijab kabul sudah mendekati seratus persen. Sama sekali aku tak merasakan bahagia. Aku malah memikirkan bagaimana hubunganku dengan Aldo, lelaki idaman yang sangat kucintai.
Aku harus meluangkan waktu untuk menemui dan berbicara dengan kekasihku itu. Bagaimanapun aku sangat mencintainya.
Namun aku harus sabar. Aku harus rela menantikan waktu luang. Waktuku lebih banyak untuk membeli cincin, menemui event organizer, butik langganan keluarga.
Untuk keperluan itu semua, calon suami pilihan orang tuaku setia menemani. Biar kami bisa semakin kenal satu sama lain, kata ibu. Huft, ibu tak tahu, semakin sering bersama lelaki itu malah membuatku semakin kesal. Bagaimana dengan lelaki itu?
Dia tak ambil pusing dengan sikap dinginku.
"Aku niatkan untuk ibadah dan membantu orang tuamu," itu yang diucapkan lelaki itu saat aku kesal dan bertanya alasannya kenapa mau menikahiku. Padahal banyak perempuan shalihah yang bisa dipilihnya.
"Ada sih, mbak Bintang. Tapi kurasa membantu orangtuamu lebih kupilih".
Huhhh! Lelaki apaan dia? Tinggal menolak saja kan gampang. Pemikirannya juga agak nyleneh. Orang sepertinya pasti ingin rumah tangganya penuh dengan nilai-nilai agama yang bisa didapatkan dari perempuan shalihah.Â
Aku tak merasa cocok. Aku lebih cocok dengan Aldo. Titik!
**
"Itu namanya jodoh, Bintang".
"Jodoh apaan, Bu! Itu perjodohan namanya. Pemaksaan!" Teriakku kepada perempuan yang telah melahirkan dan membesarkanku.
"Demi kebaikanmu, nak..."
"Kebaikanku ibu bilang? Bukan, Bu! Itu demi ego ibu sama ayah! Kalian egois!"
Ibu terdiam. Matanya berkaca-kaca.Â
"Nak, saat kamu masih kecil, ibu pernah mendongeng tentang putri cantik yang dijodohkan dan akhirnya bahagia bersama anaknya kan?"
Aku kembali mengingat kisah dongeng itu. Ibu menceritakan dengan menarik. Hingga sampai saat ini, dongeng itu masih kuingat. Ya, meski aku belum pernah menemukan kisah dongeng itu di buku-buku dongeng yang sering dibelikan ibu atau kubaca di perpustakaan sekolah.
***
Di sebuah kampung yang sejuk, gemericik air sungai terdengar, kicauan burung merdu, desau angin yang menerpa dedaunan bambu di pojok sawah sangat membuat seorang anak perempuan bahagia.
Anak perempuan itu sering bermain di sungai, sawah. Membantu ibu dan bapaknya yang bertani.Â
Kebahagiaan anak itu terus dirasakan hingga dia menginjak remaja. Perempuan remaja itu semakin hari, kecantikannya semakin terlihat. Meski tak ada perawatan wajah seperti zaman sekarang.
Wajah cantik perempuan remaja itu sangat alami. Tentu banyak teman lelaki yang ingin dekat dengan gadis itu. Namun, gadis cantik itu hanya ingin berteman saja. Dia sadar kalau dirinya berasal dari keluarga sederhana. Sementara teman-teman lelakinya berasal dari keluarga kaya raya.
Setelah lulus sekolah, gadis cantik itu tidak melanjutkan sekolahnya. Dia memilih untuk membantu orangtuanya. Apalagi bapaknya sakit-sakitan.Â
Dalam keadaan sakit itu, bapak si gadis menjodohkan si gadis dengan anak temannya. Bukan dari keluarga kaya. Bapaknya hanya ingin melihat anak gadisnya bahagia dengan kesederhanaan.
Singkat cerita, gadis cantik itu dinikahi lelaki dari kampung sebelah dan dikaruniai anak perempuan yang cantik. Mereka bahagia dengan hidup yang seadanya.
***
"Itu sebenarnya kisah ibu dan ayahmu, Bintang. Kisah itu bukan kisah putri-putri di negeri dongeng".
Branjang, 20 Maret 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H