Pagi jelang berangkat pendampingan calon guru penggerak, aku yang ke sekolah dulu untuk memberikan sedikit materi dan tugas, tiba-tiba melihat layar handphone muncul nama Lik Alif. Dia adalah saudara masih satu trah denganku.
Dengan sedikit penasaran aku mengangkat telpon dan menuju lokasi yang agak sepi. Maklum Lik Alif tak biasa telpon pagi-pagi. Kalau sekadar mengirim pesan lewati WhatsApp saja sesekali saling menyapa.
Dengan suara lirih kuangkat teleponnya.
"Assalamualaikum, Dira". Lik Alif menyapaku.
"Wa'alaikum salaam. Ada apa, Lik? Kok pagi-pagi telepon. Semua keluarga di sana baik-baik saja kan?" Selidikku.
"Baik. Begini, Dira. Nanti kalau Lik Abadi telepon tolong kamu bilang kalau Umi sudah baik. Gitu ya?"
Aku mengernyitkan dahi. Jelas saja, Bu Umi sudah berpulang kehadirat Allah hari Minggu yang lalu. Kenapa aku mesti membohongi Lik Abadi? Lagipula aku tak punya nomor Lik Abadi. Lik Abadi juga tak menyimpan nomorku.
Kuberanikan bertanya kepada Lik Alif, "Lha gimana, Lik? Kok aku harus bilang seperti itu?"
"Ya pokoknya nanti kamu bilang semua keluarga di Gunungkidul baik-baik saja".
Aku segera menangkap maksudnya. Kemungkinan besar Lik Abadi baru sakit dan tidak boleh mendengar kabar duka terlebih dulu. Apalagi kabar duka dari kampung halaman.Â