"Yang penting kita ambil nasi dulu, mbak". Bu Rinta mengajakku untuk tenang. Ah, Bu Rinta tak tahu kalau malam ini aku masih perlu menyempurnakan Bahan Ajarku.Â
Tak kuucapkan sepatah kata pun.
Akhirnya kami menyapukan pandangan ke meja-meja di ruang makan ini.
"Di meja sana saja, ibu-ibu. Nanti gabung dengan saya," suara lelaki yang tak asing di telingaku itu mengejutkanku. Suara pak Danar. Beliau menunjukkan meja khusus untuk para instruktur.
"Oh ya. Terimakasih, pak". Ucap Bu Rinta.
"Masa kita gabung dengan Instruktur, Bu". Kubisikkan di telinga Bu Rinta.
"Alah. Nggak apa-apa. Mereka juga manusia, mbak." Suara Bu Rinta terdengar keras.
Pak Danar tersenyum.
Terpaksa aku mengikuti langkah pak Danar dan Bu Rinta. Saat di meja, Bu Rinta-lah yang lebih banyak bertanya kepada pak Danar. Pertanyaan tentang materi tadi sampai masalah pribadi.
"Wah, masa pak Danar belum punya pendamping. Nunggu apa coba, pak. Sudah ganteng dan sukses begini lho," ucap Bu Rinta.
"Iya, Bu. Belum. Belum ada yang cocok. Lagian, nikah itu nggak ada telatnya. Masih muda kok saya," timpal pak Danar. Bu Rinta tertawa ringan.