Tadi. Dari kejauhan kulihat dua perempuan sedang menuju ke arah penukaran koin di sebuah lokasi wisata lokal tempat tinggalku. Salah satu menyapa sulungku. Pasti kau bisa menebak. Ya, dia isteriku. Ibu dari anak-anakku.
Satu perempuan lagi adalah teman mengaji semasa sekolah dasar. Sebenarnya aku tak mengenalnya dekat. Namun karena sering melihat saat mengaji di kampungnya, aku merasa tertarik. Bagiku perempuan itu unik.
Sekolahpun tak pernah jadi satu. SD, SMP, SMA bahkan kuliah pun tak pernah satu sekolah atau kampus. Meski begitu, aku sering jail kepadanya. Itu saat kami sama-sama duduk di bangku SMP.
Aku pernah merebut kertas di genggamannya. Waktu itu dia bersama temannya menuju ke sekolah dengan bersepeda mini. Begitupun aku, bersepeda.
Perempuan beranjak remaja itu berteriak. Pastilah dia kesal, kertas itu kuambil tanpa izinnya. Kau pasti penasaran, kenapa aku melakukannya. Alasanku hanya satu, penasaran dengan isi kertas itu. Kukira surat cinta dari teman lelaki di sekolahnya.
Ya, aku merasa tak nyaman kalau ada orang yang menyuratinya. Kalau aku mengingatnya aku merasa konyol memang. Tapi masa-masa remaja 'kan masuk masa puber. Ya begitulah.
Aku mengakui kalau dia bintang. Jago mengaji. Beragam perlombaan diikutinya. Selalu menjadi juara. Sudah begitu, dia bersekolah di SMP terfavorit. Di kelas A. Waktu itu kelas A menjadi kelas siswa-siswi pilihan.Â
Dari kabar yang kudengar, ada anak guru SMP itu yang merasa tertarik juga kepadanya. Bagaimana perasaanku waktu itu? Tak bisa kugambarkan. Kau pasti paham.
Sampai saat SMA, dia juga masuk sekolah favorit di kabupatenku. Aku dan dia bagai bumi dan langit. Bintang itu terasa sulit kuraih. Kalau sesekali bertemu pun pasti pada akhirnya diwarnai isengku. Lalu dia kesal. Aku puas kalau melihatnya jengkel.Â
***