"Za, sekolahmu itu tak hanya dibiayai ibu sama bapak," ucap saya kepada si sulung saat saya daftarkan ke salah satu sekolah swasta, Muhammadiyah Boarding School (MBS) terdekat.
Mengapa saya bilang seperti itu?Â
Memang biaya untuk bersekolah di MBS terbilang tidak sedikit. Dan itu saya ambilkan dari uang angpao lebaran yang terkumpul sejak si sulung masih balita.Â
Ketika mendapatkan angpao itu, tentunya saat masih balita si sulung belum paham untuk apa. Dan untuk mengamankan uang-uang tersebut, saya dan suami bersepakat untuk membuatkan rekening tabungan khusus untuk anak-anak di salah satu bank daerah di DIY.
Karena masih anak-anak, buku tabungan masih atas nama anak dan orangtuanya. Dalam hal ini, suami yang membuatkan rekening. Sedang untuk anak kedua dan ketiga, saya yang membuatkan rekening.
Apakah uang anak saya pergunakan sendiri?Â
Untuk memberikan gambaran, saya ceritakan saja mengenai pekerjaan saya yang masih Guru Tetap Yayasan di mana saya mendapatkan TPG setiap tiga bulan sekali. Itupun jika lancar. Terkadang malah diterimakan dalam kurun waktu 5-6 bulan.
Tentu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, di samping mendapatkan nafkah dari suami, saya tetap membutuhkan uang yang agak berlebih. Maklum anak saya tiga. Setiap hari pastinya jajan. Di samping untuk kebutuhan rumah tangga seperti beras, listrik, lauk pauk dan sebagainya.
Uang jajan tak seperti zaman saya masih kecil. Dulu saat saya masih kecil, tidak setiap hari diberi uang jajan. Itu saya ceritakan kepada anak-anak kalau terlalu sering minta jatah uang jajan. Sementara saya belum menerima TPG.
Nah, untuk menutupi kebutuhan satu dua bulan, jujur saya meminjam uang tabungan anak. Karena meminjam, maka saat TPG cair, uang anak-anak saya masukkan ke rekening lagi.