Belajar menulis puisi di sebuah grup penulisan puisi, membuatku merasa kecil hati. Namun kau membesarkan hatiku.
"Aku suka puisinya. Selalu ada kejutan kecil," komentarmu.
Aku hanya tersenyum. Kukira itu hanya sebuah kalimat untuk menghiburku agar tak putus asa dalam belajar menulis puisi.Â
Terus terang aku malah semakin minder saat kau menjelaskan perbedaan puisi dan cerpen. Memang aku lebih suka bernarasi dalam cerpen ketimbang puisi.Â
Aku tak punya diksi yang bagus seperti teman-teman grup lainnya. Hanya bermodal nekad, aku tetap bertahan di grup penulisan puisi.
Seharusnya aku bersyukur juga karena bisa belajar secara gratis dari banyak senior. Sayangnya aku yang tak bisa belajar dengan baik. Jadi, aku lebih senang menyimak daripada ikut nimbrung dalam berpuisi.
**
"Lah? Puisi kan nggak butuh konsep! Tulis aja sesukanya," komentarmu saat aku mengeluh kalau menulis sebuah puisi itu masih sulit bagiku. Tepatnya menanyakan konsep atau teori puisi.
Kamu tak tahu, betapa pusingnya aku dalam membuat puisi. Ah...aku jadi menyesal karena bergabung dalam grup penulisan puisi. Rasanya aku mau mundur saja. Left group.
"Pada prinsipnya kalau aku nggak mau keluar dari grup, mbak. Menghormati yang memasukkan dalam grup. Banyak teman, banyak rezeki." Terangmu, seolah memberitahu agar aku tak keluar dari grup.