"Hahhhh!" Teriakku sambil menghantamkan tanganku lebih keras. Membuat ibu buru-buru menuju ke kamarku.
"Ada apa, Cha?" Tanya ibu dengan mimik muka penasaran dan khawatir.
"Coba cerita sama ibu," lanjutnya.
Aku hanya menggelengkan kepala saat ibu menanyaiku, kenapa berteriak dan terdengar beberapa kali dinding berdentum dan bergetar oleh hantaman tanganku.
Ibu paham, dalam kondisi seperti ini merupakan tanda kalau aku tak bisa diajak bicara. Ibu hafal betul bagaimana aku. Aku yang keras kepala tapi menyadari kekeliruan yang kuperbuat beberapa hari kemudian.
Kuhempaskan tubuhku di kasur. Sambil memegangi tanganku yang sakit.
Kupejamkan mata. Tergambar jelas bagaimana masa kecil hingga remajaku. Aku dikenal sebagai seorang santri TPA terbaik di desaku. Waktu itu masih SD kelas II. Tidak sampai sebulan aku menuntaskan Iqra jilid 1 sampai jilid 6.
Beranjak remaja, aku membantu ustadz-ustadzah untuk membimbing santri yang belajar Iqra. Sebuah pengalaman berharga untukku.Â
Sampai SMA aku menjadi bagian pengurus Rohis. Hanya masa kuliah, aku lebih tertarik ke dunia tulis menulis. Tercatat namaku sebagai salah satu pengelola buletin kampus.
Kubuka kembali mataku. Kulihat di sudut kamar, ada Al Quran di sana. Aku bangkit dan menuju Al Quran itu berada.Â
"Kamu benar, Sinta. Aku seperti nggak punya iman." Batinku membenarkan perkataanmu.