Dahulu, jauh sebelum masa pandemi, saat menantikan detik-detik proklamasi, saya bersama saudara-saudara sering berkumpul. Entah di rumah bapak-ibu, atau padhe-budhe.
Saat berkumpul itulah, salah satu sepupu pembicaraannya sering nyleneh, tiba-tiba berkata, "mengko nek pas pengibaran bendera karo menyanyikan lagu Indonesia Raya, gek dho ngadeg. Trus hormat grak..." (nanti pas pengibaran bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, semua berdiri. Terus hormat grak).
Omongan saudara saya tentu mengundang gelak tawa. Ya karena sampai saya berusia 20 tahunan, nyaris tak terlintas untuk melakukannya saat menyaksikan Detik-detik Proklamasi dari layar televisi.Â
Penghormatan terhadap bendera lebih banyak dilakukan saat upacara di sekolah, lapangan dan acara formal lainnya. Saya lupa bahwa para veteran pun pasti akan melakukan hal serupa, seperti yang dikatakan saudara sepupu saya.
Barulah saya tersadar bahwa memang di manapun, kapanpun, selama masih ada negara Indonesia, siapapun harus melakukan penghormatan terhadap bendera.
Bendera merah-putih yang diraih dengan keberanian, jiwa besar dan gagahnya para pahlawan tak boleh dianggap sebagai pelengkap. Ada ribuan nyawa melayang karena perjuangan untuk merdeka.
Menyadari betapa besarnya perjuangan demi berkibarnya bendera merah-putih, saya mengajak dua bidadari kecil saya untuk melakukan hal serupa. Seperti ucapan sepupu saya, yang sering disapa pakdhe oleh anak-anak saya.Â
Tujuh tahun lalu, saat si sulung berusia 5 tahun dan anak kedua berusia 3 tahun, mereka telah melakukan upacara secara virtual. Mereka memberikan penghormatan terhadap bendera merah putih saat dikibarkan di istana negara Jakarta. Meski posisi tangan saat memberi hormat belum sempurna.
Sungguh saya sangat bangga dengan kedua putri saya. Saya berusaha menanamkan cinta terhadap tanah airnya dari hal sederhana. Menyaksikan upacara Detik-detik Proklamasi dari televisi. Teman kerja saya sering berujar, "Lha ibunya sarjana sejarah, anaknya ya nasionalis".Â