Dua hari yang lalu aku telah lulus dari pekerjaanku. Aku telah purna tugas. Setelah tiga puluh sembilan tahun menjadi pengajar, kini aku tinggal menikmati hari tua bersama buah hati yang semua sudah dewasa.
Anak pertama dan kedua sudah menikah. Dari mereka, lahirlah cucu-cucu yang lucu dan sehat. Mereka menjadi sumber kebahagiaanku.
Lalu si bungsu sebentar lagi menikah. Sungguh aku bersyukur bisa mendampingi anak-anak hingga dewasa. Suami dan aku juga sehat meski raga semakin rapuh dan menua.
Sesekali anak dan cucu ke rumah untuk melepas kerinduan. Cucu-cucu mengingatkanku bagaimana masa kecil anak-anak. Semua itu kurasa berlalu begitu cepat.Â
Aku merasa baru saja melahirkan, menggendong, merawat mereka. Tangis dan tawa mereka mewarnai hari-hariku. Kurasa lelah tetapi ada kebahagiaan tak terkira saat melihat tumbuh kembang benar-benar kupantau meski tak seratus persen.
Sungguh kusyukuri, tangan dan seluruh tubuhku bisa membesarkan anak-anak. Bahkan masih bisa menyentuh dan membantu merawat cucu-cucu.Â
***
Sepuluh November. Seorang lelaki muda mendatangi rumah. Santun kata yang dia ucapkan. Senyum tak lepas dari wajahnya.Â
Kumengernyitkan dahi. Mencoba mengingat-ingat, siapa gerangan lelaki muda itu.
"Lupakah dengan saya, Bu?"Â
Aku tersenyum seraya menganggukkan kepala.