"Jika waktu dapat diputar kembali ya," ujarmu sambil tersenyum. Entah apa maksud perkataanmu. Aku tak mau ambil pusing. Biarlah dirimu sendiri yang mengerti maksud perkataanmu.
"Andai dulu kita sering bicara, pasti kita bisa bersama." Hatiku bergetar. Bagaimanapun aku dulu memang pernah menaruh hati padamu.Â
Namun aku mencoba menetralisir hatiku. Tak mungkin aku mau kembali ke masa lalu, saat begitu berharap bisa dekat denganmu. Tak ingin kupertaruhkan kebahagiaan yang telah kuperjuangkan bersama calon suamiku.
Kebetulan calon suamiku adalah saudara sepupumu. Sebelumnya aku juga tak mengetahuinya. Baru beberapa hari yang lalu aku tahu. Itupun setelah tanpa sengaja saat kami bertemu denganmu.
Rupanya dirimu penasaran, bagaimana aku bisa dekat dengan saudaramu. Baiklah. Kujelaskan padamu, dia adalah teman kerjaku. Dialah yang selalu memotivasiku untuk menjadi lebih baik.
Dia sangat pengertian dan aku merasa menjadi perempuan yang istimewa karena perlakuannya. Dengan sepenuh hati, kuterima pinangannya.
**
"Calon isterimu itu dulu teman kuliahku. Kami  punya perasaan yang sama," ceritamu pada calon suamiku.Â
Entah kapan dirimu menemuinya. Yang pasti dia terkejut dengan pengakuanmu itu. Lalu menemuiku dan menanyakan kebenaran ucapanmu.Â
Aku tahu, dia sangat marah dengan perkataanmu. Dia merasa kubohongi dan menjadi pelarianku. Padahal itu sangat tidak benar. Dia bukan pelarianku. Dia kupilih karena kuyakin dia adalah pilihan Allah untuk menjadi imamku.
Sekarang aku meminta bantuanmu untuk menjelaskan hubungan kita. Kita hanya sebatas teman, tak lebih.Â