Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dengan dibekali hati dan pikiran yang bisa memunculkan daya cipta, rasa dan karsa.Â
Meski demikian, manusia bukanlah malaikat yang tanpa dosa. Manusia pasti pernah melakukan kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja. Semua karena keterbatasan manusia dalam menyikapi segala hal yang ada di sekitarnya.
Orangtua pasti juga pernah melakukan kesalahan atau kekeliruan. Meski sudah dinilai sebagai manusia yang dewasa, lebih stabil dalam mengelola emosi dan banyak makan asam garam. Nyatanya kekeliruan tetap saja dilakukan. Diakui atau tidak, seperti itu adanya.Â
Jika orangtua saja masih melakukan kesalahan apalagi anak. Anak masih sangat labil dalam segala tindakan dan pikirannya. Jadi kekeliruan akan dekat dengan anak.
Kekeliruan atau kesalahan anak bisa saja dilakukan terhadap orang lain maupun diri sendiri. Kekeliruan atau kesalahan hilangnya barang kesayangan karena dibawa ke mana-mana dan lupa tak dibawa pulang, misalnya.Â
Kasus tadi adalah kesalahan yang dilakukan karena keteledoran sendiri. Akan tetapi bisa saja anak marah-marah saat menyadari barang kesayangannya hilang begitu saja.Â
Malah bisa jadi anak akan merugikan orang lain karena menyalahkan ibu, adik, kakak atau temannya. Hal itu sangat tidak baik. Secara tidak langsung anak akan belajar menyalahkan orang lain. Jika tidak dididik dan diarahkan maka sampai dewasa akan terus menyalahkan orang lain saat dia melakukan kesalahan.
Kesalahan terhadap orang lain malah sering dilakukan, seperti usil kepada adik atau teman. Tentu tingkah ini bisa merugikan mereka. Akibatnya teman-teman atau saudaranya tidak akan menyukainya.
Nah jika anak sering melakukan kesalahan maka sebagai orangtua harus jeli sekaligus sabar dalam menghadapinya.Â
Pertama, ayah atau ibu bisa mengajak anak bicara dari hati ke hati. Tentu saja untuk melakukannya harus pada waktu luang tetapi tidak terlalu lama dari kasus terjadi. Anak akan belajar bahwa kesalahan yang diperbuatnya merupakan hal penting dan harus segera diselesaikan.
Kedua, meski agak berat, orangtua perlu menceritakan kisah atau cerita yang bisa membuka jalan pemikiran anak. Tentu saja ceritanya yang mirip dengan kasus yang menimpa sang anak dan bahasanya sederhana.