Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ayah-Bunda, Mari Bergandeng Tangan Mendidik Anak Bersama Guru

13 Juli 2020   12:47 Diperbarui: 13 Juli 2020   13:01 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alhamdulillah, hari ini merupakan hari pertama masuk sekolah di tahun ajaran 2020/2021. Pastinya diawali dengan masa perkenalan para siswa dengan lingkungan baru, teman baru dan guru baru. 

Jika tahun ajaran kemarin, para orangtua siswa ---terutama siswa kelas 1 SD atau PAUD/TK--- disibukkan dengan aktivitas mengantar dan menunggui anak di luar kelas. Atau bahkan ada yang harus menunggu di dalam kelas selama beberapa hari. 

Suasana menjadi riuh rendah karena tangisan siswa kelas 1 yang tidak mau ditinggal ibu atau ayahnya. Sementara guru dan orangtua sibuk menenangkan anak atau siswa yang merajuk. 

Nah saat ini riuh rendah suasana kelas di ruang kelas I tidak lagi terdengar. Pun di PAUD atau TK. Sekolah menjadi sepi meski para guru telah beraktivitas di sekolah. Tentu saja untuk menyiapkan, melaksanakan pembelajaran secara online.

Suasana sepi itu membuat para guru kembali merindukan suasana kelas. Ya meski terkadang suasana kelas terkadang ribut oleh ulah aktif siswa. Akibatnya guru sering menghela nafas dan beristighfar, menahan emosi di dada.

Bagaimanapun para siswa adalah titipan dari orang tua untuk dididik sebaik mungkin. Guru membantu orang tua dalam menimba ilmu dan memperbaiki karakter yang sulit dikendalikan orangtua.

Namun dalam membantu orangtua, tentu harus ada kerjasama yang baik antara guru dan orang tua. Segala sesuatu dikomunikasikan sebaik mungkin agar tujuan pembelajaran dan tujuan pendidikan nasional bisa tercapai.

Kesuksesan pembelajaran tidak hanya tergantung pada guru. Malah lebih banyak dipengaruhi oleh orangtua dan lingkungan belajar siswa di dalam masyarakat.

Memang di sekolah guru bisa mengarahkan para siswa sesuai dengan ilmu yang telah didapatkan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para siswa lebih mendengar nasehat dari guru daripada nasehat orangtua.

Itu tak hanya berlaku hanya bagi siswa dari orangtua di luar dunia pendidikan. Siswa yang orangtuanya berprofesi sebagai guru pun sulit dinasehati atau dididik orangtuanya.

"Saya judheg sama anak, nggak manut sama saya. Diajari belajar tapi nggak percaya. Padahal saya juga guru," begitu curhat almarhum teman saya yang mengajar Bahasa Inggris di sebuah SMP.

Si anak diajari bagaimana cara membuat denah rumah tetapi tidak percaya pada ibunya ---teman saya---. Waktu itu saya tersenyum. Belum terpikir jika hal tersebut saya alami juga. Maklum waktu itu saya masih single. 

Nah...ketika sudah berkeluarga dan memiliki anak, apa yang dialami dan diceritakan oleh almarhum teman saya, juga saya rasakan.

Melihat dan mengalami hal yang begitu sulit dalam menghadapi anak, maka sudah sepantasnya jika saya meminta bantuan guru dari anak-anak dalam mendidik ---agama dan ilmu pengetahuan lainnya---. Bukan berarti saya lepas tangan ketika anak berada di rumah.

Aturan untuk mendisiplinkan anak tetap harus diterapkan secara pelan dan sedikit memaksa. Saya tahu bahwa aturan itu memang membuat anak merasa tidak nyaman sama sekali.

Prinsip saya, saya tidak ingin anak terlena dengan segala hal yang diinginkannya. Anak harus dididik bahwa segala sesuatu harus diraih dengan kesabaran dan perjuangan.

Pernah guru PAUD anak saya mengatakan, "Biar saja mbak Azza nangis, Bu. Biar mbak Azza tahu kalau membeli sesuatu itu tidak bisa segera dituruti." Itu disampaikan saat anak saya menangis karena ingin membeli mainan di sekitar lingkungan sekolah.

Saya sepakat dengan guru anak saya itu. Didikan menunda pemenuhan atas barang yang diinginkan itu sangat bermanfaat di masa-masa berikutnya.

Saya tak mementahkan pendapat gurunya. Saya tahu bahwa saya harus sejalan dengan cara mendidik anak jika saya benar ingin anak saya tidak manja dan bisa memiliki karakter yang baik.

Hal seperti itulah yang juga saya harapkan dari para orangtua siswa. Mendidik siswa di masa pandemi ini pasti tak bisa dilakukan sepenuhnya oleh guru di sekolah. Pembelajaran masih dilaksanakan secara online. Belajar dari rumah (BDR).

Jika kondisi seperti itu maka sudah pasti saya sangat membutuhkan kerjasama yang baik dengan orangtua atau wali siswa demi kelancaran pembelajaran. Didikan karakter juga demikian.

Pendidikan karakter untuk siswa jelas masih didukung sepenuhnya oleh orangtua. Menyadari hal tersebut, guru bisa memanfaatkan kesempatan untuk para siswa bekerja sama untuk melakukan kegiatan yang sekiranya menjadi salah satu penilaian sikap dan keterampilan bagi siswa.

Semua kegiatan bisa diabadikan dalam bentuk gambar atau video dan dikirimkan kepada guru. Dengan demikian para siswa merasa bahwa aktivitasnya di rumah tetap dipantau dan dinilai oleh guru. Bahkan dari pengembangan karakter di rumah terabadikan dalam rapor. Ada nilai sikap, spiritual dan keterampilan, di samping nilai pengetahuan.

Jadi orangtua tidak merasa kesulitan untuk mengatasi kesulitan membentuk karakter anak. Jikapun anak ingin memegang HP untuk nge-game atau YouTube-an, perbolehkan saja. Namun dengan catatan dan syarat bahwa memegang HP hanya 1-2 jam. Selebihnya anak diberi waktu untuk istirahat, bermain dan melakukan aktifitas positif lainnya.

Jangan biarkan anak terlalu banyak memegang HP. Meski harus menghadapi amarah anak, tugas orangtua tetap bertahan pada aturan. Orangtua hanya perlu sabar dan konsisten saja.

Jika anak tidak memegang HP maka orangtua juga harus melakukan hal yang sama. Biar tidak ada protes dari anak. Orangtua perlu menyadari bahwa anak zaman sekarang lebih kritis terhadap perilaku orang tua.

Mari jadi contoh yang bisa digugu dan ditiru bagi anak. Jangan sampai anak hanya nggugu dan meniru hal baik dari guru di sekolah. Orangtua justru harus melebihi guru dalam hal suri tauladan bagi anak.

Mengingat peran guru dan orangtua sangat berpengaruh bagi anak atau siswa maka orangtua dan guru ---atau sekolah--- harus bergandeng tangan untuk membentuk karakter positif dan mencapai tujuan pendidikan nasional. Demi terbentuknya generasi emas  yang diharapkan terwujud pada masa emas Indonesia pada 2045.

Semoga. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun