"Ibu cantik ya, dik? Kok ndempel terus sama ibu," tanya saya ke bungsu saya. Ya si bungsu sering nempel sama ibunya. Padahal ibunya termasuk ibu yang nggak bisa dandan dan agak galak. Hihiii.
Si bungsu tak menggubris pertanyaan saya. Dia asyik berdiri di atas punggung ketika saya tengkurap. Dalam kondisi lelah, saya memang biasanya tengkurap. Lalu si bungsu turun dan naik punggung lagi.Â
Dalam posisi saya dudukpun jadi sasaran salto si bungsu. Saya merasakan bahwa memiliki jagoan sangat berbeda. Tak seperti saat kedua kakaknya masih balita.
Kembali ke pertanyaan saya kepada si bungsu, bapaknya yang kebetulan baru menonton televisi dan memang tak selalu membicarakan bagaimana fisik saya ---wajah--- menengok ke arah kami. Lalu dengan santainya bilang, "ora, ngunu dik..."
Ehmmm. Okelah. Memang suami bukan lelaki yang jago bicara romantis. Bahkan memuji pun jarang saya dengar. Ya sudahlah. Nah kalau dia bicara seperti itu dengan cueknya, saya pun bisa balas bicara asal.Â
"He em. Nggak cantik. Yang penting punya anak tiga...". Suami langsung mesem mendengar ucapan saya.
**
Tolok ukur Harmonis
Untuk mengatakan bahwa rumah tangga  harmonis, saya tidak bisa memastikan tolok ukurnya secara pas. Karena harmonis itu selalu ada kesamaan atau seia sekata dalam berumah tangga sehingga rumah tangga terasa nyaman dan tenteram.
Tolok ukur keharmonisan tidak bisa diukur dengan pasti. Ada yang mengaitkan dengan pemenuhan kebutuhan biologis sebagai tolok ukurnya. Namun bagi saya, selama ada sikap terbuka, saling menghargai dan memegang komitmen, itu sudah melebihi dari kata harmonis.
Harmonis. Yang bisa merasakan ya pasangan suami-isteri sendiri dan pastinya berdampak pada anak-anak. Orangtua yang harmonis akan membuat hati anak lebih nyaman dan bahagia.Â