Kini aku tak tahu, harus marah ataukah menangis. Kamu begitu tega bicara keburukanku dan teman-teman di luar sana. Kamu bicara kalau kami pelit dan mendoakan keburukan untuk kami.
"Mungkin kalau mati mereka akan mengubur diri sendiri" begitu yang kudengar.
Astaghfirullah.
Kawan, tuduhanmu sangat menyakitkan. Oh iya. Kamu tak perlu menyalahkan semua, karena akulah yang berinisiatif mematikan wifi. Kamu cukup salahkan aku saja. Pulang sekolah, bukannya segera pulang tetapi anak-anak malah memegang HP di lingkungan kita.Â
Tak kusangka niatan itu menjadi masalah. Kamu bilang bahwa kami buruk. Boleh saja kamu mengatakan itu. Tapi kawan, mari kita berpikir jauh ke depan. Demi anak-anak.Â
Kita tentu tahu jika anak-anak bebas mengakses internet. Mereka tak bisa kita awasi terus. Kita tak punya waktu untuk itu. Karenanya mereka harus diselamatkan.Â
Jika kamu bertanya kenapa kulakukan. Aku ingin mereka dipantau orangtuanya. Silakan anak-anak berinternet asal di rumah sehingga orang tua bisa mengetahui apa saja yang dilihat atau dibaca.
Kamu mungkin menganggap kami keterlaluan. Lalu kamu bicara keburukan kami. Kami ikhlaskan saja. Tetapi kami berharap cerita buruk itu akan menghapus sedikit dosa kami.
Biarlah Allah yang Tahu maksud kami. Kami ikhlas jika terlihat buruk di mata manusia. Biar kami baik di mataNya. Demi cinta untuk anak negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H