Dari waktu ke waktu kami mendapatkan pengalaman pasang surut dalam perekonomian. Namun bukan berarti itu ada kaitan dengan pisang untuk acara pernikahan ipar.
Saya melihat orang lain yang tidak memiliki dan panen pisang pun kondisi perekonomian sama saja. Tak jauh beda dengan keluarga kami. Jadi memang hidup seperti roda yang berputar. Kadang di atas, kadang di bawah.
Hal yang terpenting, kami mensyukuri yang ada di tangan kami. Tak memandang hal yang dicapai orang lain. Tidak ingin menyaingi orang yang memiliki barang-barang mewah. Toh barang mewah juga bisa rusak.
Saya teringat dengan almarhumah ibu. Ketika saya membawakan pisang, lengkeng ke beliau, pasti menanyakan, "Ibu mertuamu dikirimi apa tidak?"
Ya...Almarhumah ibulah yang selalu mengajarkan untuk ingat orang lain ketika memiliki rezeki. Beliaulah yang selalu menjadi teladan hidup saya.
Ibu berprinsip kalau mau berbagi atau sedekah maka rezeki akan selalu mengalir. Entah berupa apa dan dari mana asalnya, selama rezeki kita maka tidak akan ke mana.
Belajar berbagi bukanlah hal yang mudah. Apalagi ketika dalam perekonomian sulit, lalu dibutuhkan keluarga. Suami selalu mengatakan bahwa jika orangtua butuh sesuatu, apapun pasti dilakukan biarpun kami sendiri juga membutuhkan hal yang sama.
Saya dan suami memang memiliki kesamaan dalam hal mengagungkan dan mengistimewakan orangtua. Jadi untuk membantu orangtua tidak menjadi persoalan yang berarti.
Suamilah yang pertama kali nguyak-uyak saya untuk membawakan hasil panen ke rumah ibu. Sebaliknya saya ganti mengingatkan kepada suami untuk membawa hasil panen ke orangtuanya.Â
Oh iya. Ketika kami memanen pisang, saya menjadi ingat perkataan teman saya yang mengatakan kalau panen pisang pertama nantinya juga akan terpakai untuk acara pernikahan. Kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga.
Ketika pisang berbuah ---terutama pisang raja--- dan musim pernikahan, ada saja orang yang mencari-cari kami. Mereka bukan untuk meminta pisang tentunya. Akan tetapi mereka mau membeli pisang raja kami.