Pulang dari kerja, seperti biasa, saya merebahkan tubuh dan memejamkan mata sejenak. Barang 15-30 menit. Setelah itu barulah saya menjemput si bungsu dari sekolahnya.
Di sela istirahat saya, terdengar suara dua bidadari saya yang ngobrol dan main di ruang tengah. Putri kedua tiba-tiba menghampiri saya.
"Ibu, aku ta nggawe nasi goreng ya..."
Saya iyakan saja ucapannya. Anak-anak sudah terbiasa nyeplok telur, goreng sosis, membuat mie instan. Tanpa saya dampingi.Â
Terdengarlah suara gaduh di dapur.
"Mbak, bantu nguleg..."
Tak lama, si sulung menanyakan adakah stok telur di kulkas. Saya menyuruhnya untuk mengecek telur di kulkas.
"Kalau habis telurnya, sementara nggak usah pakai telur, Za..."
**
Setelah beristirahat, saya bangkit dari rebahan. Saya lihat kedua putri saya menikmati nasi goreng ala mereka. Ketika saya lihat secara sekilas, adukan bumbunya tidak merata. Namun tetap mereka nikmati.
Saya jadi ingat ketika kegiatan kemah pertama kali saat SMP. Masakan apapun terasa nikmat, karena lapar dan penghargaan kami sendiri atas karya kami. Mungkin begitulah yang dirasakan kedua putri saya.Â