Melihat siswa tadi tak berseragam, sebelum saya bagikan rapor, saya memberikan informasi tentang libur semester dan tanggal masuk sekolah lagi. Setelah itu, saya umumkan bahwa ada satu siswa yang tidak akan menerima rapor karena tidak tertib dalam bersergam.
Kelas menjadi riuh. Saya tak mau kecolongan. Meski tinggal pembagian rapor, bukan berarti siswa seenaknya ketika masuk sekolah. Akhirnya saya bagikan rapor, kecuali rapor siswa tanpa seragam tadi. Selepas itu siswa tadi "ngedrel" atau merengek, ingin meminta rapornya. Tetap tidak saya berikan.
"Halah, bu... seragamku masih basah..." begitu dia memberikan alasan kenapa dia tak berseragam.
Tak masuk akal alasannya. Karena seragam harusnya sudah bersih karena ada waktu seminggu untuk mencuci seragamnya setelah dikenakan pada waktu seminggu sebelumnya.
Sementara siswa lain sudah pulang, saya ke kantor dengan dibuntuti siswa tadi.
"Kenapa kamu bersikukuh ingin mengambil rapor? Kamu takut sama ibu bapakmu ya?"
Siswa itu diam.
"Pasti kamu khawatir kalau dimarahi karena tidak menerima rapor..."
Siswa tadi masih berdiplomasi, merengek. Saya tidak mau tahu. Saya mengatakan pada siswa saya bahwa saya menyerahkan rapor jika dia mengenakan seragam. Bagaimanapun caranya. Singkat cerita siswa tadi kembali ke sekolah dengan berseragam demi mengambil rapor.Â
Dari kejadian ini saya tahu bahwa siswa "istimewa" memiliki kekhawatiran akan sesuatu. Karenanya butuh waktu yang lama untuk mengubah keistimewaannya menjadi siswa yang berkarakter baik.
Tentu tak hanya saya yang memiliki siswa yang "istimewa". Dan pastinya ada cara yang mungkin berbeda dalam mendidik agar siswa bisa berjalan di atas rel yang benar.