Singa, si raja hutan belantara, menyaksikan keadaan wilayah kerajaan yang sudah sangat jauh berbeda. Pepohonan di hutan semakin sempit. Digantikan dengan bangunan- bangunan yang entah dipergunakan untuk apa oleh manusia- manusia yang tamak.
Tak jarang, sebelum didirikan bangunan - bangunan, hutan harus dibakar. Manusia tak mau membersihkan hutan dengan cara penebangan pohon pada pohon yang tua. Manusia ingin mudah dan murahnya dalam membuka lahan.
Singa tentu sangat sedih. Dia sebagai raja hutan pastinya sangat memperhatikan rakyatnya. Dia ingat betul bagaimana tersiksa rakyatnya ketika kobaran api melalap hutan, tempat hidup mereka.
Udara sangat kotor dan panas. Hampir semua hewan mengalami sesak nafas. Bahkan ada beberapa yang mati. Yang menyedihkan, hewan yang mati itu meninggalkan anak- anaknya. Anak- anak hewan sangat sedih ketika mengingat ibu atau ayah mereka.
Anak- anak itu mengadu kepada Singa.
"Apakah kita akan bertahan hidup, raja?" tanya anak Monyet.Â
"Tentu saja! Kita berusaha mengusir manusia jahat itu dari tempat kita..."
"Tapi asap kebakaran ini membuatku semakin sulit bernafas, raja. Mungkin sebentar lagi aku mati juga seperti ibuku..." keluh anak rusa.
Singa terhenyak. Anak- anak hewan itu bisa berpikir sampai di situ. Saking asap tebal, matahari tak terlihat dan hujan tak segera menyapa bumi mereka berpijak.
"Tenanglah, anak- anak. Aku akan meminta pada Elang untuk mencari tahu tempat yang bebas asap untuk kalian. Sementara waktu kalian tinggal di sana. Kalau sudah aman, kalian bisa kembali ke kerajaan ini..."
Anak- anak itu tersenyum sumringah. Mereka membayangkan tempat yang sejuk, udaranya bersih, seperti tempat tinggal mereka dahulu.Â