Menjadi salah satu alumni UNY dan bisa berkomunikasi ---melalui FB atau IG--- dengan Guru Besar sekaligus Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan adalah sebuah kebahagiaan. Beliau adalah Prof Suyanto PhD. Berkaitan dengan pertemanan ini Prof Suyanto akan mengkonfirmasi jika identitas akun jelas dan tidak aneh-aneh.
Sebagai seorang Guru Besar, memang beliau tetap ramah dan sering mempublikasikan kegiatan yang dilakukan dalam keseharian. Mulai dari kegiatan calistung ---untuk istilah ajakan shalat tahajud--- sampai kegiatannya dalam mengisi workshop kependidikan.
Kemarin saya sempat membaca status beliau yang mengatakan bahwa ada undangan dari Mendikbud, Nadiem. Undangan itu bertujuan untuk mendapatkan masukan dalam kementerian. Dalam kesempatan yang sama beliau meminta masukan juga dari para pengikut akun FB beliau.
Ada banyak masukan dari para pengikut akun beliau. Semoga saja masukan itu bisa disampaikan kepada Mendikbud, Mas Nadiem.
Pemerataan Infrastruktur Pendidikan
Bukan menjadi rahasia lagi bahwa infrastruktur sekolah tidaklah sama. Sekolah yang dulu adalah sekolah favorit atau pernah menjadi RSBI tentu infrastrukturnya memadai.
Sarana prasarana yang menunjang pendidikan memang sangat dibutuhkan. Para siswa atau bahkan orangtua lebih memilih sekolah tersebut. Akibatnya karena keinginan tak sejalan dengan kenyataan, orangtua dan siswa kecewa berat. Apalagi kalau bukan karena PPDB sistem zonasi yang menjadi penyebabnya.
Berkaitan dengan sistem zonasi, ada usulan juga sistem tersebut ditinjau atau dihapus. Hal ini dinilai merugikan siswa pandai yang ingin melanjutkan sekolah di sekolah yang sarana prasarananya lengkap.Â
Materi dalam kurikulum pendidikan
Adanya kurikulum baru, Kurikulum 2013, para siswa dan orangtua merasa kesulitan dalam mempelajari materi pelajaran. Ada protes juga, kenapa harus ada tugas rumah padahal dalam buku siswa tak ada materi sebagai bacaannya. Orangtua harus bisa membantu anak untuk memperoleh jawaban dari internet.Â
Itulah kekurangpahaman orangtua, bahwa dalam kurikulum 2013, siswa harus lebih banyak belajar mandiri. Akan tetapi karena keterbatasan sarana prasarana, akhirnya internetlah yang menjadi salah satu andalan belajar para siswa.
Mengingat ketidaksiapan sarana prasarana dan pertimbangan mewujudkan nilai karakter ada baiknya Indonesia lebih mengedepankan pendidikan budi pekerti dan akhlak mulia. Indonesia tak perlu ragu untuk belajar dari sistem pendidikan di Jepang. Penekanan pendidikan dasar di sana adalah budi pekerti, disiplin, kerjasama, empati dan simpati, bukan menargetkan calistung dulu.Â
Guru atau tenaga kependidikan
Beberapa tahun yang lalu, muncul kebijakan moratorium pegawai. Tak ada pengangkatan guru PNS, sementara guru yang memasuki usia pensiun semakin banyak.Â
Akhirnya pemerintah mengambil lagi guru PNS yang ditugaskan ke sekolah swasta untuk menggantikan guru yang purna tugas. Jadi, kebutuhan guru di sekolah negeri sedikit tertutupi. Akan tetapi sekolah negeri yang masih kekurangan guru, mengangkat guru honorer. Guru honorer ini akhirnya menjadi permasalahan yang cukup pelik. Jasanya sangat tinggi untuk menutupi kebutuhan guru, sementara kesejahteraan sangat rendah. Pemerintah sampai saat ini belum menuntaskan permasalahan guru honorer maupun guru sekolah swasta.
Selanjutnya, berkaitan dengan pemenuhan guru, sudah seharusnya ada pemerataan kualitas dan kuantitas pendidik di berbagai penjuru tanah air. Akan lebih baik jika perekrutan CPNS atau guru PNS ditempatkan sesuai zonasinya.Â
Perampingan administrasi guru
Guru berperan ganda dalam melaksanakan ketugasannya. Sebagai pengajar, pendidik, pengadministrasi dan kalau guru pada tingkat dasar ---SD--- merangkap sebagai guru BK, mengelola dan membuat laporan BOS, melengkapi syarat pencairan dana PIP dan sebagainya. Terbayang betapa lelahnya sang guru SD.
Karenanya ada usulan juga agar guru tak terlalu dibebani tugas administrasi yang lumayan. Untuk RPP perpertemuan tak hanya membutuhkan 10 halaman. Padahal untuk tematik sekolah dasar dibuat perpertemuan. Tinggal dikalikan berapa kertas yang dibutuhkan untuk ngeprint atau mencetak RPP. Pertahun untuk kelas atas saja ada 9 tema. Setiap tema ada 3 subtema, dan tiap subtema ada 6 pertemuan. Acuannya masih sekolah enam hari, bukan 5 hari dengan sistem full day school.
9 tema x 3 subtema x 6 pertemuan x 15 lembar ( jika rata- rata RPP membutuhkan 15 lembar kertas)= 2430 lembar. Sementara ada perbandingan dari negeri jiran, Â di Malaysia pembelajaran sudah terstruktur. Step- step atau langkah pembelajarannya sudah dari pemerintah. Sebenarnya dalam buku guru pun sudah ada langkah pembelajaran, mengapa harus membuat RPP lagi? Apakah tak lebih baik para guru juga diajak menghemat penggunaan kertas. Tak hanya siswa yang diajak menghemat kertas atau sumber daya alam.
Itulah beberapa usulan yang dititipkan kepada Prof Suyanto. Malah kalau bisa mas Nadiem yang terhormat bisa ke daerah- daerah dan berbicara langsung dengan guru, siswa dan orangtua siswa. Tak hanya mendengar masukan dari pakar pendidikan. Di lapanganlah yang tahu betul bagaimana pelaksanaan pembelajaran beserta hambatannya. Â
FDS misalnya. Konsep belajar di sekolah selama lima hari tak begitu efektif. Oleh karenanya FDS semoga bisa ditinjau kembali dan dihapus. Hal ini karena para siswa kelelahan jika belajar terlalu lama dlm sehari. Setelah pukul 12.00 para siswa sudah tidak fokus lagi untuk belajar.
Apapun nanti kebijakan pendidikannya, semoga menjadi lebih maju.Â
***
Dari ragam pendapat dalam akun Prof Suyanto PhD
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H