Akhirnya pemerintah mengambil lagi guru PNS yang ditugaskan ke sekolah swasta untuk menggantikan guru yang purna tugas. Jadi, kebutuhan guru di sekolah negeri sedikit tertutupi. Akan tetapi sekolah negeri yang masih kekurangan guru, mengangkat guru honorer. Guru honorer ini akhirnya menjadi permasalahan yang cukup pelik. Jasanya sangat tinggi untuk menutupi kebutuhan guru, sementara kesejahteraan sangat rendah. Pemerintah sampai saat ini belum menuntaskan permasalahan guru honorer maupun guru sekolah swasta.
Selanjutnya, berkaitan dengan pemenuhan guru, sudah seharusnya ada pemerataan kualitas dan kuantitas pendidik di berbagai penjuru tanah air. Akan lebih baik jika perekrutan CPNS atau guru PNS ditempatkan sesuai zonasinya.Â
Perampingan administrasi guru
Guru berperan ganda dalam melaksanakan ketugasannya. Sebagai pengajar, pendidik, pengadministrasi dan kalau guru pada tingkat dasar ---SD--- merangkap sebagai guru BK, mengelola dan membuat laporan BOS, melengkapi syarat pencairan dana PIP dan sebagainya. Terbayang betapa lelahnya sang guru SD.
Karenanya ada usulan juga agar guru tak terlalu dibebani tugas administrasi yang lumayan. Untuk RPP perpertemuan tak hanya membutuhkan 10 halaman. Padahal untuk tematik sekolah dasar dibuat perpertemuan. Tinggal dikalikan berapa kertas yang dibutuhkan untuk ngeprint atau mencetak RPP. Pertahun untuk kelas atas saja ada 9 tema. Setiap tema ada 3 subtema, dan tiap subtema ada 6 pertemuan. Acuannya masih sekolah enam hari, bukan 5 hari dengan sistem full day school.
9 tema x 3 subtema x 6 pertemuan x 15 lembar ( jika rata- rata RPP membutuhkan 15 lembar kertas)= 2430 lembar. Sementara ada perbandingan dari negeri jiran, Â di Malaysia pembelajaran sudah terstruktur. Step- step atau langkah pembelajarannya sudah dari pemerintah. Sebenarnya dalam buku guru pun sudah ada langkah pembelajaran, mengapa harus membuat RPP lagi? Apakah tak lebih baik para guru juga diajak menghemat penggunaan kertas. Tak hanya siswa yang diajak menghemat kertas atau sumber daya alam.
Itulah beberapa usulan yang dititipkan kepada Prof Suyanto. Malah kalau bisa mas Nadiem yang terhormat bisa ke daerah- daerah dan berbicara langsung dengan guru, siswa dan orangtua siswa. Tak hanya mendengar masukan dari pakar pendidikan. Di lapanganlah yang tahu betul bagaimana pelaksanaan pembelajaran beserta hambatannya. Â
FDS misalnya. Konsep belajar di sekolah selama lima hari tak begitu efektif. Oleh karenanya FDS semoga bisa ditinjau kembali dan dihapus. Hal ini karena para siswa kelelahan jika belajar terlalu lama dlm sehari. Setelah pukul 12.00 para siswa sudah tidak fokus lagi untuk belajar.
Apapun nanti kebijakan pendidikannya, semoga menjadi lebih maju.Â
***
Dari ragam pendapat dalam akun Prof Suyanto PhD
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H