Entah bagaimana kabar Sherly. Di hari ketiga PLPG-nya, aku sama sekali tak berjumpa dengannya. Hanya sesekali aku mengirimkan pesan lewat WA. Untuk saling membalas pun tak bisa bebas.Â
Aku sibuk dengan para peserta yang berkonsultasi. Sherly sibuk dengan tugasnya. Aku maklum dan mendukungnya. Meski rasanya rindu begitu besar dan menguasai hatiku.
Sherly menolak keinginanku untuk berbincang meski hanya sebentar.
"Nggak usah, mas. Aku nggak mau kalau teman- teman nanti berpikir aneh- aneh. Dikira ada KKN nanti. Malah nggak baik..."
Aku menghela nafas panjang. Kupikir, mengapa untuk bertemu saja kok dibatasi oleh Sherly. Bukankah perempuan itu kalau berbunga- bunga malah minta lebih diperhatikan dan ingin selalu bertemu?
Ah... Sherly memang perempuan aneh. Tapi itulah mungkin yang membuatku semakin jatuh hati padanya.
"Apa kamu nggak kangen...?"
Aku mengirimkan balasan pesan Sherly. Lama dia tak merespon pesanku. Jangankan dibalas, dibacapun belum. Kulihat terakhir online sudah sekitar dua jam yang lalu.
**
Sampai malam, barulah Sherly, si lesung pipi, membalas pesanku. Lega rasanya. Balasan itu menjadi obat kangen hati. Sherly tak tahu, bahwa rinduku seperti tanah yang merindukan hujan di musim kemarau saat ini.Â
Tak kalah dengan tanah yang semakin nelo atau mengering, rinduku juga seperti kondisi alam di Riau atau daerah Kalimantan yang terkena musibah asap pekat karena kebakaran hutan dan lahan. Jika mereka sesak karena udara tercemar, hatiku juga tercemar oleh perasaan galau dan rindu setengah mati. Tapi setidaknya aku masih bisa menghirup udara segar.