Bicara kualitas pendidikan akan menjadi lebih marak ketika sekolah memasuki akhir tahun pelajaran. Hal ini berkaitan dengan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru).Â
Beberapa tahun terakhir PPDB dilaksanakan dengan sistem zonasi. Sistem ini memungkinkan siswa bisa melanjutkan sekolah di zona atau wilayah terdekat dengan tempat tinggal siswa. Tak peduli nilai capaian USBN---untuk siswa SD---atau UN ---untuk siswa SMP--.Â
Selama siswa dekat dengan lokasi sekolah tertentu maka kemungkinan besar dia akan lolos menjadi siswa sekolah tersebut. Akibatnya terkadang muncul kecemburuan bagi siswa yang nilai USBN maupun UN-nya tinggi karena mereka tidak bisa memilih sekolah dengan sarana prasarana yang berkualitas.Â
Tak dapat dipungkiri bahwa sarana prasarana menjadi faktor pendukung keberhasilan guru dalam proses belajar mengajar. Sekolah-sekolah yang tadinya dikenal sebagai sekolah favorit, bahkan sekolah bertaraf internasional, sarana prasarana lebih bagus. Tak seperti sekolah lainnya.Â
Harapannya, dengan sistem zonasi pada PPDB kualitas sekolah akan cenderung sama. Namun butuh waktu yang cukup lama untuk menyamakan sarana prasarana yang menunjang pembelajaran.Â
Banyak kalangan yang berbicara tentang kualitas pendidikan dengan PPDB sistem zonasi ini. Kualitas pendidikan dinilai rendah. Hal ini dilihat dari capaian nilai USBN maupun UN. Namun apakah yang dimaksud dengan pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang menghasilkan output siswa dengan nilai USBN atau UNBK yang tinggi?Â
Mungkin harus ada kriteria khusus untuk menilai pendidikan itu berkualitas ataukah tidak. Apalagi jika sekolah sudah menyelenggarakan pembelajaran dengan Kurikulum 2013, maka ketercapaian kualitas pendidikan tak bisa hanya dilihat dari nilai akademisnya. Mengapa?Â
Dalam penilaian di Kurikulum 2013 bisa saya katakan memang njelimet dan sulit dipahami secara sekilas. Ada Penilaian Spiritual (diberikan oleh Guru Agama), Â Penilaian Sikap, Penilaian Pengetahuan, dan Penilaian Keterampilan ( dinilai oleh guru kelas atau mata pelajaran dengan pertimbangan banyak hal).Â
Dari penilaian ini maka memang kualitas pendidikan yang ingin dicapai di dunia pendidikan ya meliputi empat penilaian tadi. Sayangnya ketika dalam proses penilaian maka semua siswa diseyogyakan bisa mencapai kriteria ketuntasan minimal dan yang membuat guru agak berat hati yaitu siswa tidak boleh ada yang tinggal kelas karena pertimbangan kenaikan kelas tidak hanya nilai akademis atau pengetahuan saja.Â
Jika saja guru diberikan keleluasaan atau kewenangan untuk menentukan siswa naik kelas atau tidak ---dalam hal ini KD tidak harus lulus dalam satu tahun belajar siswa--- maka saya yakin kualitas pendidikan akan lebih baik. Bagaimanapun guru lebih paham, mengerti dan hafal akan kemampuan atau kualitas siswa baik dalam kriteria religius, sikap, pengetahuan dan keterampilan siswa.Â
Alangkah baiknya jika keempat penilaian yang menjadi tolok ukur kualitas pendidikan benar-benar dinilai secara profesional, tanpa embel-embel siswa harus naik kelas semua setiap tahunnya. Mengapa? Semua itu menjadi beban berat guru. Tentu guru sudah semaksimal mungkin mendidik dengan sarana prasarana yang ada, Â namun sekali lagi jika sistem pendidikan dengan kurikulum yang tak memberi kewenangan kepada guru untuk memutuskan siswa naik kelas atau tidak maka kualitas pendidikan akan jalan di tempat.Â