Pagi-pagi kurasakan sangat sibuk. Membuat aku uring-uringan. Apalagi si kecil sudah bangun tidur pukul 04.00. Mana belum menyetrika seragam si sulung dan suami. Belum menanak nasi dan memasak lauknya.Â
Si kecil rewel karena aku sibuk dengan seragam. Sementara aku berkali-kali membangunkan suami biar menemani si kecil. Dengan suara yang masih normal aku meminta suami untuk menenangkan si kecil.Â
"Rayan... sini, Le...", ucap suamiku tanpa beranjak dari empuknya kasur.Â
Namanya masih balita kadang tak mau menuruti ucapan bapak atau ibunya. Semakin menjadilah tangis si kecil Rayan. Aku menjadi semakin kehilangan kesabaran.Â
Dengan suara tinggi aku minta suami untuk lebih memperhatikan si kecil agar aku bisa menyelesaikan tugas pagi ini. Ya menyetrika, masak, dan mandi. Biasanya mandi aku lakukan sebelum azan Subuh. Begitu bangun tidur langsung mandi, entah pukul 03.00, 03.30. Yang jelas aku harus sudah mandi sebelum mengurusi anak dan suami.
Namun malangnya pagi ini si kecil bangun lebih pagi. Jadwal rutin pagiku jadi terganggu.Â
Mendengar suaraku yang meninggi dengan cuek dan tak berdosa, suamiku mengucapkan sesuatu yang membuatku sakit hati dan menahan air mata.Â
"Kalau nggak bersuara keras kenapa...?", ucapnya dengan ketus.Â
"Aku cuma minta dibantu,mas. Awasi Rayan. Cuma itu. Nyetrika juga belum selesai...", rasanya ingin kuluapkan kekesalan hatiku. Namun jika kulanjutkan maka aku pasti menangis.Â
Dalam hatiku aku bertanya-tanya, apa minta bantuan suami itu salah. Apa urusan anak itu hanya tanggung jawabku sebagai ibu. Enak bener jadi laki-laki. Segala hal sudah disiapkan, tinggal pakai, tinggal makan dan minum.Â
Ah... kalau sudah begitu besar kekesalanku, lebih baik diam. Entah mau berapa lama.Â